Parapuan.co - Seperti yang kita ketahui, NTT dilanda bencana banjir dan longsor pada Minggu (4/4/2021) yang disebabkan oleh bibit siklon tropis ya, Kawan Puan.
Peristiwa tersebut mengakibatkan ribuan warga terpaksa kehilangan harta benda bahkan keluarga dan kerabat dekat.
Baca Juga: Usia Cukup tapi Anak Belum Siap Sekolah? Lakukan 3 Langkah Ini yuk!
Bencana ini menyebabkan anak-anak menjadi salah korban kondisi kritis seperti ini. Perlindungan bagi hak anak tentu menjadi hal yang tak boleh dilupakan, mengingat hal tersebut dapat berdampak pada kondisi fisik maupun psikisnya.
Bagaimana tidak, anak-anak ini kehilangan rumah, waktu bermain, bahkan keluarga yang menjadi pendamping. Makanya, perlindungan hak anak harus terpenuhi karena jika tidak, kekerasan pada anak bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi.
Bahkan, Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi mengungkapkan, kekerasan pada anak sangat mungkin terjadi di lokasi pengungsian.
"Seperti kita ketahui, tinggal di lokasi pengungsian tentu bercampur dengan banyak orang, toilet juga menjadi milik bersama, hal ini tentu rentan terjadi kekerasan, termasuk kekerasan seksual pada anak," ungkap Ai Maryati pada PARAPUAN, Kamis (8/4/2021).
Baca Juga: BNPB Akan Segera Relokasi Pengungsi Bencana NTT ke Tempat Lebih Aman
Faktanya, berdasarkan data KPAI menunjukkan kalau kekerasan yang biasanya terjadi di lokasi pengungsian adalah kekerasan seksual.
Penyebab Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual umumnya disebabkan oleh kondisi anak-anak yang kehilangan atau terpisah dari orang tua maupun keluarganya.
Kemudian datang orang tak dikenal dengan memberikan iming-iming kepada anak. Selanjutnya anak-anak bisa masuk ke dalam jebakan pelaku kejahatan tersebut.
Ai Maryati juga menambahkan, kasus seperti ini bahkan terjadi di sejumlah pengungsian bencana seperti saat bencana di Palu.
Baca Juga: 3 Tips Dampingi Buah Hati Saat Masuk Sekolah Untuk Pertama Kalinya
Melihat banyaknya kasus seperti ini yang terjadi di lokasi tentu begitu miris. Apalagi anak-anak masih memiliki masa depan yang panjang, namun harus mengalami kejadian serupa yang berdampak besar pada fisik, psikis, dan tumbuh kembang anak tersebut.
"Dampak psikologis yang dialami anak, korban dari kekerasan seksual di lokasi pengungsian dapat berupa ketakutan, tidak percaya diri, enggan untuk bergaul, tidak mau sekolah, dan takut dengan barang-barang tertentu yang membuatnya trauma," tutur Ai Maryati.
Selain itu, Ai Maryati juga menyampaikan bahwa bantuan yang diberikan untuk mereka korban kekerasan seksual ini pun harus berdasarkan suara korban, apalagi dalam kondisi kritis seperti bencana ini.
Baca Juga: Presiden Jokowi Pastikan Logistik untuk Pengungsi Bencana NTT Tercukupi
Penanganan seperti trauma healing untuk mengobati trauma yang mereka alami pun harus secara maksimal dilakukan.
"Seperti kita ketahui daya ingat anak begitu kuat tentu sangat besar dampak yang dialaminya karena ia begitu ingat bagaimana peristiwa tersebut menimpanya. Sehingga pengobatan seperti trauma healing harus secara maksimal dilakukan," ungkap Ai Maryati saat diwawancarai pada Kamis, (8/4/2021).
Banyak Pernikahan Anak di Lokasi Pengungsian
Fakta lain yang tak kalah mengejutkan selain kekerasan seksual ialah pernikahan anak yang banyak terjadi di lokasi pengungsian ataupun situasi bencana seperti ini.
Penyebabnya tak jauh berbeda dengan kekerasan seksual, yakni karena kondisi anak-anak yang terpaksa kehilangan atau terpisah dari orang tua maupun keluarganya.
"Kondisi anak kehilangan atau terpisah dari orang tua maupun keluarga, kemudian hidup mereka menjadi luntang-lantung karena baru saja kehilangan keluarga terdekat. Tak jarang justru keluarga baru seperti bude/tante/om berpikir 'nikahin aja udah'," jelas Komisier KPAI tersebut.
Baca Juga: BNPB Pastikan Kebutuhan Perempuan dan Anak di Pengungsian Banjir NTT Memadai
Hal inilah yang justru bisa menimbulkan masalah baru dan dampak di jangka panjang.
Sebab, di usia anak-anak yang masih belia tentu tidak memiliki kesiapan untuk membangun rumah tangga, dari segi fisik ataupun psikisnya.
Maraknya isu tersebut, KPAI berharap pihak dinas terkait dan BNPB perlu melakukan pendataan anak-anak yang kehilangan atau terpisah dari orang tua maupuan keluarga.
Kemudian menempatkan anak-anak dengan penanganan terbaik agar terhindar dari kasus tersebut. Selanjutnya, balai perlindungan anak setempat yang akan mengurus dan memberikan solusi terbaik di mana mereka harus ditempatkan.
Selain itu, Ai Maryati juga mengatakan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai institusi pemerintahan yang bertanggung jawab dalam hal perlindungan anak perlu membuat regulasi mengenai hal tersebut.
Selanjutnya Kemenpppa juga perlu berkoordinasi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dalam membentuk kesadaran kepada masyarakat bahwa, setiap anak yang ada di lingkungan sekitar adalah anak ‘kita’ yang harus dijaga serta dilindungi.
(*)
Baca Juga: Musibah Melanda NTT, Ini Kebutuhan Anak-anak di Lokasi Bencana