Mengenal Tonic Immobility, Kondisi Tubuh saat Seseorang Alami Pemerkosaan

Alessandra Langit - Sabtu, 24 April 2021
Ilustrasi korban pelecehan
Ilustrasi korban pelecehan Pexels

Sebuah studi pada tahun 2005 menemukan bahwa 52% mahasiswa perempuan yang melaporkan pelecehan seksual pada masa kanak-kanaknya, mengatakan bahwa mereka mengalami kelumpuhan ini.

Studi baru, yang diterbitkan dalam Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica (2014), melaporkan dari hampir 300 wanita yang mengunjungi klinik untuk korban pemerkosaan, 70% mengalami TI dan 48% memenuhi kriteria TI yang ekstrim selama pemerkosaan. 

Tingkat keekstriman TI dinilai menggunakan skala yang mengukur perasaan seperti dibius, kaku, bisu, mati rasa, dan sebagainya.

Korban yang mengalami TI, cenderung mengidap depresi dan PTSD setelah kejadian tersebut.

Mereka merasa tidak memiliki kontrol penuh kepada tubuh dan memiliki rasa bersalah kepada diri sendiri karena tidak mampu melawan.

Baca Juga: Aturan Pemerkosa Nikahi Korban Masih Berlaku di 20 Negara, Bagaimana dengan Indonesia?

Tonic Immobility pada serangan pemerkosaan tidak dikenal dalam sistem hukum dan peradilan.

Hal tersebut yang membuat korban kesulitan untuk menjelaskan kepada pihak yang berwenang mengapa mereka tidak melawan.

Tetapi orang-orang yang bekerja dengan penyintas pelecehan seksual telah lama menyadarinya, kata James Hopper, seorang ahli trauma psikologis dan rekan pengajar di Harvard Medical School. 

Pengetahuan mengenai Tonic Immobility seharusnya secara luas disebarkan kepada lembaga hukum dan masyarakat agar korban tidak merasa dihakimi saat mereka tidak bisa melawan.

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Dobrak Stigma, Logina Salah Kontestan Pertama Miss Universe dengan Vitiligo dan Status Ibu