Parapuan.co - Saat kita membaca atau mendengar kisah korban pelecehan seksual, seringkali mereka mengungkapkan bahwa saat pelecehan seksual terjadi, tubuh mereka seketika kaku dan terdiam.
Sering kita temukan, komentar netizen yang menyalahkan korban karena tidak melawan, padahal tubuh korban seketika kaku dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuh seseorang ketika pemerkosaan terjadi?
Baca Juga: Kekerasan Seksual Tak Pandang Gender, Pria Remaja di Probolinggo Jadi Korban Pemerkosaan
Rasa kaku pada tubuh merupakan hal umum terjadi saat tubuh kita terkejut dan ingin melakukan penyerangan.
Resistensi aktif dianggap sebagai reaksi normal saat pemerkosaan terjadi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa mirip dengan hewan, manusia yang dihadapkan dengan ancaman dapat mengeluarkan reaksi yang penghambatan motorik.
Hal tersebut dikenal dengan istilah Tonic Immobility (TI).
Melansir dari Scientificamerican.com, TI adalah keadaan kelumpuhan tubuh yang tidak disengaja, di mana individu tidak dapat bergerak atau berbicara.
Pada hewan, reaksi ini dianggap sebagai pertahanan adaptif terhadap serangan predator ketika bentuk pertahanan lain tidak memungkinkan.
Masih sedikit penelitian dan informasi mengenai Tonic Immobility yang dapat diakses dengan bebas, meskipun telah ada penelitian kepada tentara dalam pertempuran serta penyintas pelecehan seksual.
Sebuah studi pada tahun 2005 menemukan bahwa 52% mahasiswa perempuan yang melaporkan pelecehan seksual pada masa kanak-kanaknya, mengatakan bahwa mereka mengalami kelumpuhan ini.
Studi baru, yang diterbitkan dalam Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica (2014), melaporkan dari hampir 300 wanita yang mengunjungi klinik untuk korban pemerkosaan, 70% mengalami TI dan 48% memenuhi kriteria TI yang ekstrim selama pemerkosaan.
Tingkat keekstriman TI dinilai menggunakan skala yang mengukur perasaan seperti dibius, kaku, bisu, mati rasa, dan sebagainya.
Korban yang mengalami TI, cenderung mengidap depresi dan PTSD setelah kejadian tersebut.
Mereka merasa tidak memiliki kontrol penuh kepada tubuh dan memiliki rasa bersalah kepada diri sendiri karena tidak mampu melawan.
Baca Juga: Aturan Pemerkosa Nikahi Korban Masih Berlaku di 20 Negara, Bagaimana dengan Indonesia?
Tonic Immobility pada serangan pemerkosaan tidak dikenal dalam sistem hukum dan peradilan.
Hal tersebut yang membuat korban kesulitan untuk menjelaskan kepada pihak yang berwenang mengapa mereka tidak melawan.
Tetapi orang-orang yang bekerja dengan penyintas pelecehan seksual telah lama menyadarinya, kata James Hopper, seorang ahli trauma psikologis dan rekan pengajar di Harvard Medical School.
Pengetahuan mengenai Tonic Immobility seharusnya secara luas disebarkan kepada lembaga hukum dan masyarakat agar korban tidak merasa dihakimi saat mereka tidak bisa melawan.
(*)