Parapuan.co - Kawan Puan, masih ingatkah kamu dengan kasus atlet senam asal Kediri yang gagal ikut SEA Games karena dianggap sudah tidak perawan lagi pada tahun 2019 lalu?
Iya kasus ini memang sempat ramai diperbincangkan publik karena tes keperawanan yang menjadi persyaratannya.
Melansir dari Kompas.com, masalah tes keperawanan ini sudah beberapa kali hangat diperbincangkan publik.
Baca Juga: Lama Tak Bertemu Sahabat, Lakukan Cara Ini Agar Tak Canggung
Sebagai contoh, ada kasus tes keperawanan untuk masuk SMP dan SMA di Jambi pada tahun 2010 dan tes uji keperawanan untuk anak SMA di Prabumulih Sumatera Selatan pada 2013.
Nah Kawan Puan, ramainya isu tes keperawanan ini bukan tanpa alasan.
Banyak orang yang berpendapat bahwa tes ini bisa berdampak buruk terhadap remaja.
Ahmad Mujab Masykur, psikolog sosial Universitas Diponegoro mengatakan bahwa dilakukannya tes ini justru akan memperburuk kondisi anak-anak dan menghambat potensi.
Baca Juga: Cobalah! Ini 4 Cara Menjadi Single Berkualitas Tanpa Merasa Kesepian
"Dengan label itu sangat ada kemungkinan mereka merasa down karena terbongkarnnya privasi," kata Ahmad, seperti yang dilansir dari Kompas.com.
Selain itu, tes keperawanan juga bisa membuat anak bertingkah lebih brutal.
"Bisa saja berpikir karena sudah terlanjur, ya sudah perilakunya justru lebih parah. Ini yang berbahaya," tambahnya.
Ahmad juga mempertanyakan kegunaan tes semacam ini untuk apa.
Menurutnya, jika yang dikhawatirkan adalah pergaulan bebas, maka yang perlu diambil adalah langkah pencegahan melalui pendidikan moral, etika, dan budaya.
"Daya tangkal ini yang harus diperkuat dari keluarga, dan hal ini yang sekarang semakin memudar. Jadi tidak perlu repot-repot tes semacam itu yang tidak penting," ungkap Ahmad.
Baca Juga: Waspadai Frenemy, Ini 9 Tanda Teman Berusaha Bersaing Denganmu
Ketidaksetujuan terhadap tes keperawanan ini juga disampaikan oleh Anang Budi Utomo, anggota Komisi D DPRD Kota Semarang.
Anang beranggapan bahwa tes semacam ini justru menghambat potensi anak.
Sebab, sobeknya selaput dara bukan hanya bisa disebabkan oleh aktivitas seksual.
"Dasarnya apa? Apakah tidak melanggar HAM? Kalau menurut saya yang penting langkah preventif, pendidikan moral dengan kasih sayang. Kalau memang tes ini dilakukan, menurut saya masalah yang timbul justru semakin banyak," katanya. (*)