Miris, Bukannya Dapat Perlindungan Korban Pemerkosaan di 6 Negara Asia Selatan Ini Justru Harus Tes Vagina

Vregina Voneria Palis - Minggu, 25 April 2021
Photo by brbrihan on Unsplash

Parapuan.co - Entah apa yang ada di pikiran orang-orang yang memberlakukan aturan bahwa korban pemerkosaan justru harus melakukan tes vagina untuk membuktikan dirinya adalah penyintas kekerasan seksual.

Di 6 negara Asia Selatan ini, penyintas kekerasan seksual justru harus melakukan tes vagina untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban.

Apabila memang terbukti, baru kasus tersebut bisa diperkarakan di pengadilan.

Baca Juga: Peduli Soal Kesehatan Mental, Ariel Tatum Tegaskan Pentingnya Penerimaan Diri

Seolah tak cukup dengan menjadi penyintas kekerasan seksual yang harus membawa trauma seumur hidup, para korban pun harus melakukan tes vagina lagi untuk membawa kasusnya ke pengadilan.

6 negara tersebut adalah India, Nepal, Bangladesh, Bhutan, Maldives, dan Sri Lanka.

Para penyintas pemerkosaan harus melakukan tes vagina atau tes keperawanan. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa mereka adalah korban pemerkosaan.

Beruntung, ada seorang pengacara yang mengajukan keberatan dan menganggap aturan tersebut tak masuk akal.

Divya Srinivasan, seorang pengacara hak asasi manusia yang tinggal di Delhi, menyampaikan ketidaksetujuannya atas tes tersebut.

Menurutnya tes keperawanan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Tak hanya Divya, Sumeera Shrestha, direktur eksekutif organisasi perempuan Nepal untuk hak asasi manusia juga menentang tes ini.

Sumeera beranggapan bahwa tes keperawanan tersebut termasuk merendahkan para korban dan tidak manusiawi.

“Tes ini merendahkan dan tidak manusiawi. Bukan hanya tentang apakah pemerkosaan telah terjadi, tetapi ini seperti menguji keperawanan,"  kata Sumeera.

Melansir dari The Guardian, tes keperawanan yang dilakukan akan melibatkan seorang praktisi medis.

Baca Juga: Lembaga Riset Indonesia Indicator Rilis 10 Perempuan Berpengaruh di Twitter, Siapa Saja Mereka?

Praktisi medis tersebut akan melakukan tes keperawanan dengan memasukkan dua jari ke vagina korban.

Tes dilakukan dengan memasukkan dua jari ke dalam vagina korban pemerkosaan.

Tujuannya untuk menentukan apakah selaput dara rusak, serta untuk menguji kelemahan di vagina.

Jika selaput dara masih utuh dan tidak robek, maka tes akan menyatakan bahwa pemerkosaan tidak pernah terjadi.

Padahal, semua orang tahu bahwa pemerkosaan ataupun hubungan seksual tidak selalu merusak atau merobek selaput dara.

Atas tes keperawanan dengan dua jari ini, Divya menyerukan agar hakim pengadilan memberlakukan larangan.

"Ambil tindakan terhadap penyedia yang masih terus melakukannya (tes keperawanan) dan pastikan pengadilan berhenti mengandalkan bukti dari tes ini," kata Divya.

Sayangnya, tes vagina dua jari ini menjadi salah satu faktor yang membuat proses pelaporan pemerkosaan dan pencarian keadilan menjadi sangat memberatkan.

Hal ini diketahui dari laporan yang berfokus pada pengalaman perempuan korban pemerkosaan di enam negara Asia Selatan. 

Baca Juga: Dari Kisah Betrand Peto Kita Bisa Belajar Soal Toxic Family yang Bisa Memicu Trauma

Di Bangladesh, India, dan Nepal sendiri tercatat ada lebih dari 60 persen korban pemerkosaan yang dilaporkan berada di bawah tekanan dan terpaksa berkompromi dengan kasus pemerkosaan yang dihadapi.

Sumeera mengatakan bahwa utamanya di Nepal, para korban pemerkosaan dan keluarga menghadapi tekanan serta diancam untuk membatalkan kasusnya.

Selain itu, stigma sosial yang muncul juga membuat korban pemerkosaan urung untuk melaporkan kasusnya.

“Para perempuan diancam, begitu pula para pembela hak asasi manusia yang mendukung perempuan," katanya.

“Ketika kami bekerja dengan para janda yang telah diperkosa oleh anggota keluarga sendiri, mereka tidak bisa secara terbuka mengatakan itu karena pelaku mengancam anak-anaknya,” tambahnya. (*)

Sumber: The Guardian
Penulis:
Editor: Rizka Rachmania