Kenapa Kita Menormalkan Konten TikTok Berisi Pelecehan Seksual? Ini Jawaban Komnas Perempuan

Alessandra Langit - Rabu, 28 April 2021
Ilustrasi pelecehan seksual
Ilustrasi pelecehan seksual Freepik

“Padahal, hal tersebut (mencium,mengintip, menghukum secara seksual) adalah bentuk pelecehan seksual.”

Rape culture sendiri merujuk pada pengertian lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual untuk dianggap normal dan dibenarkan.

Hal tersebut dipicu oleh ketidaksetaraan gender dan sikap terhadap peran gender dan seksualitas.

Menurut Siti Aminah, selain menormalisasikan pelecehan seksual, berikut adalah tindakan yang muncul akibat adanya rape culture:

  1. Menyalahkan korban. 
  2. Membenarkan kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender lainnya. 
  3. Lelucon eksplisit secara seksual. 
  4. Memperhatikan pakaian, keadaan mental, motif, dan latar belakang korban secara terbuka. 
  5. Penggambaran kekerasan berbasis gender yang serampangan dalam film dan televisi. 
  6. Mendefinisikan “kejantanan” sebagai sesuatu yang dominan dan agresif secara seksual, sedangkan “keperempuanan” sebagai penurut dan pasif secara seksual.
  7. Cenderung mendidik perempuan agar tidak diperkosa dibanding mendidik lelaki untuk tidak memperkosa.

Baca Juga: Peringati Hari Bumi, Ini Alasan Perempuan Lebih Rentan Terhadap Perubahan Iklim

Iqbal dan kreator lainnya bisa dengan mudah membuat konten berupa pelecehan seksual karena rape culture di Indonesia cukup tinggi.

“Jika kemudian akun Iqbal ataupun akun-akun lain membuat konten serupa, berarti rape culture ini sudah meresap dan tertanam dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bergerak di Indonesia, baik di laki-laki maupun perempuan. 

“Hal ini berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki,” jelas Siti Aminah.