Parapuan.co – Kondisi perempuan Papua saat ini mengalami kekerasan berlapis.
Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi tetapi minim pelaporan terutama kasus KDRT dan kekerasan seksual.
Hal itu dipaparkan oleh Retty Ratnawati selaku Komisioner Komnas Perempuan pada Diskusi Online #PAPUANWEEK bertajuk Hak atas Kesehatan dan Pemulihan Perempuan Papua, Rabu (28/4/2021).
#PAPUANWEEK merupakan kampanye yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan bersama Asia Justice and Rights (AJAR) untuk membahas isu-isu perempuan Papua.
Acara ini diselenggarakan tiap minggu akhri bulan mulai bulan April hingga Desember 2021.
Baca Juga: Tak Kalah Berbahaya dari Fisik, Berikut Dampak Kekerasan Verbal
“Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi, kekerasan saat konflik terkait konflik tanah, lingkungan, dan sumber penghidupan lainnya, tingginya kasus HIV AIDS pada perempuan termasuk ibu rumah tangga, bantuan pengungsi di daerah rawan konflik bersenjata yang minim, serta perempuan mengalami kesulitan mengakses layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama saat pandemi Covid-19,” jelas Retty.
Permasalahan yang dialami perempuan Papua juga disampaikan oleh Elsa Desi Manggaprouw selaku Paralegal OPSI/ LBH Papua.
“Perempuan yang mengandung masih menjalani proses hukum di rumah tahanan. Namun, aparat tidak menjamin kesehatannya. Kami membantu supaya Ibu hamil diberi penangguhan jadi tahanan kota,” papar Desi.
Selain itu, perempuan Papua juga mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan.
“Di daerah pedalaman dan daerah rawan konflik bersenjata susah untuk mengakses layanan kesehatan,” ungkap Desi.
Ia menambahkan, kebijakan pemerintah untuk memperhatikan perempuan dan anak yang membutuhkan perlindungan belum terealisasi dengan baik.
Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat Selama Pandemi, Ini Dampaknya Bagi Penyintas
Saat ini pendampingan korban kekerasan untuk mengatasi kesehatan mental belum ada.
“Dalam beberapa kasus, belum sampai ke pendampingan kesehatan mental. Tapi lebih ke pendampingan penyidikan ke bantuan hukum,” jelasnya.
Maka itu, isu-isu perempuan di Papua membutuhkan bantuan dari banyak pihak.
“Kondisi Papua berbeda dengan daerah lain. Sistem apa yang harus kita buat itu sangat perlu,” jelas Desi.
(*)