Menengok Realita Stigma Sosial Terhadap Perempuan yang Bercerai

Alessandra Langit - Rabu, 5 Mei 2021
Ilustrasi perempuan melepas cincin tanda perceraian
Ilustrasi perempuan melepas cincin tanda perceraian grinvalds

Keluarga yang harusnya berperan sebagai pihak yang melindungi dan mendukung, juga dapat menciptakan tekanan pada perempuan pasca bercerai.

Tak sedikit keluarga yang sering melakukan kekerasan dan ancaman kepada perempuan yang menggugat cerai suaminya demi kehormatan keluarga.

Sementara itu, masyarakat percaya bahwa perceraian adalah tindakan yang seharusnya tidak pernah diambil oleh perempuan. 

Lebih buruk lagi, jika kasus perceraian digugat oleh istri, lembaga hukum terkadang menyepelekan dan menganggap itu adalah hal yang dapat diselesaikan di rumah. 

Dalam banyak kasus kekerasan rumah tangga, pihak berwajib mengabaikan dan menurunkan kepercayaan perempuan untuk melapor dan menindaklanjuti kasus tersebut. 

Baca Juga: Tak Hanya Perselingkuhan, Ini Penyebab Perceraian Terjadi Walau Usia Pernikahan Sudah Lama

Kehidupan perempuan yang diceraikan oleh suaminya juga tidak lebih baik.

Jika perceraian digugat oleh suami maka perempuan juga akan menghadapi tekanan dari masyarakat patriarki yang meremehkan perempuan dan membela suaminya.

Sering kali mereka diberi label sebagai “perempuan rendahan” dan dianggap memiliki moral yang buruk sehingga diceraikan oleh suami. 

Kawan Puan, di beberapa budaya, perempuan yang diceraikan bahkan tidak boleh hadir ke pernikahan karena dianggap sebagai pertanda buruk bagi pengantin baru.

Secara keuangan, perempuan yang sudah bercerai pun mendapat tekanan.

Bank sering menolak untuk membuka rekening bagi perempuan yang bercerai, dengan alasan kurangnya stabilitas keuangan dan pendapatan yang layak.

Sering kali bank menuntut verifikasi dari anggota keluarga laki-laki mereka terlebih dahulu.