Parapuan.co - Kawan Puan, keperawanan masih dianggap sebagai hal yang penting bagi perempuan.
Saat seorang perempuan kehilangan keperawanannya, mereka akan dianggap buruk dan bahkan tak jarang jika dikucilkan dari lingkungannya.
Banyak anggapan jika keperawanan merupakan hal yang penting dan harus disimpan untuk laki-laki yang tepat.
Ada banyak pandangan mengenai keperawanan seorang perempuan.
Salah satunya dari Laura Carpenter yang merupakan peneliti sosiologi dan penulis Virginity Los: An Intimate Portrait of First Sexual Experience.
"Jika kamu mengambil pandangan bahwa kehilangan keperawanan merupakan proses pembelajaran, maka keperawananan hanya menggambarkan suatu keadaan. Seperti pemula dalam proses pembelajaran." ucap Laura Carpenter.
Menganggap keperawanan sebagai suatu hadiah yang harus dijaga dan dipertahankan adalah hal yang dapat menjatuhkan bahkan membunuh perempuan.
Baca Juga: Berpenampilan Menarik Saat WFH Ternyata Banyak Manfaatnya, Yuk Simak!
Melansir dari Abc.net.au, keperawanan dianggap sebagai "identitas" bagi perempuan.
Perempuan akan lebih dihormati jika menjaga keperawanannya sampai pertama kali berhubungan seks dengan laki-laki yang tepat.
Lalu bagaimana jika mereka telah mengalami kekerasan atau bahkan pelecehan seksual?
Keadaan ini dapat menghancurkan mental bahkan mengganggu psikologi perempuan.
Bagaimana Hal Ini Mempengaruhi Perempuan dan Laki-laki
Perbedaan gender menyebabkan pengaruh keperawanan bagi perempuan dan laki-laki cukup berbeda.
Perempuan sudah ditanamkan untuk memandang keperawanan sebagai "hadiah khusus" yang perlu dijaga.
Perempuan akan mendapatkan pandangan yang buruk bahkan rusak setelah pertama kali berhubungan seksual apalagi jika dilakukan di luar pernikahan.
"Ini merupakan penindasan," ucap terapis seks, Cat O'Dowd.
Baca Juga: Mau Berat Badan Turun? Maksimalkan Pembakaran Lemak saat Kamu Tidur
Laki-laki mungkin sangat rentan terhadap perasaan kekurangan pasca melakukan hubungan seksual.
Tak jarang jika laki-laki merasa jantan setelah melakukan hubungan seksual.
"Mendefinisikan hilangnya keperawanan yang terjadi karena proses penetrasi penis ke dalam vagina adalah hal yang aneh." ucap Cat O' Dowd.
Sebagai konsep "pertama kali" ini dapat mengabaikan seseorang perempuan dengan pengalaman pertama seksual karena pelecehan atau pemerkosaan.
Stigma Keperawanan
Dalam beberapa budaya, jika seorang perempuan ditemukan sudah tidak perawaan saat belum menikah, mereka bisa dibunuh.
"Perempuan berada dalam pengawasan yang lebih tinggi dan mungkin mengalami konsekuensi yang merugikan mereka jika dianggap kehilangan keperawanan, mulai dari pengucilan hingga kekerasan fisik." ucap Sherria Ayuandini dari Universitas Amsterdam yang telah meneliti tes keperawanan.
Pengujian selaput dara adalah salah satu metode pengujian yang masih dilakukan dibanyak negara dan salah satu organisasi kesehatan sudah berkampanye untuk menghentikannya.
Dibeberapa lokasi tes ini dianggap penting bahkan sudah ditetapkan, namun tingkat akurat tes keperawanan masih dipertanyakan.
Baca Juga: Ingin Batasi Penggunaan Media Sosial? Lakukan 5 Langkah Awal Ini!
"Ada banyak penelitian yang meneliti selaput dara untuk menunjukkan riwayat penetrasi vagina dan menunjukan bahwa keakuratannya rendah." ucap Sherria.
"Gagasan bahwa selaput dara pecah setelah penetrasi juga sebagaian besar keliru, karena selaput dara fleksibel sehingga mungkin tidak mengalami trauma apa pun bahkan setelah penetrasi pertama." tambah Sherria.
Pembahasan mengenai keperawanan seorang perempuan merupakan hal yang sangat sensitif.
Kita tidak bisa menilai perempuan yang kehilangan keperawanannya buruk bahkan sebelum pernikahannya.
Keperawanan seorang perempuan juga tidak bisa diuji melalui selaput dara.
Pasalnya, kondisi selaput dara setiap perempuan berbeda-beda bahkan selaput dara dapat mengalami kerusakan tanpa proses penetrasi seperti kecelakaan dan olahraga.
Kawan Puan tak perlu khawatir dengan stigma keperawanan yang tertanam dipikiran masyarakat.
Keperawanan seseorang merupakan privasi masing-masing.
Tes keperawanan pun juga sudah dilarang oleh organisasi kesehatan dunia, WHO.
(*)