Gerak Perempuan dan Kompaks Kecam Tes Wawancara Pegawai KPK yang Dinilai Bias dan Diskriminatif

Aulia Firafiroh - Jumat, 7 Mei 2021
KPK
KPK

Parapuan.co - Gerak Perempuan dan Kompaks (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) mengecam pertanyaan dan pernyataan berbau seksis, bias agama, bias rasisme, dan diskriminatif yang diajukan kepada peserta seleksi tes pegawai KPK untuk alih status sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Pertanyaan dan pernyataan yang diajukan saat proses wawancara dinilai memuat unsur pelecehan.

Dilansir dari rilis pers yang dikeluarkan oleh Gerak Perempuan dan Kompaks, pertanyaan bermuatan seksis dan mengandung pelecehan berupa pertanyaan mengenai status pernikahan, hasrat seksual, kesediaan menjadi istri kedua, serta apa saja hal yang dilakukan saat berpacaran.

Tak hanya itu, isi pertanyaan tes wawancara pegawai KPK juga diduga memuat bias agama dan rasisme.

Baca juga: KPK Ungkap Bahwa Perempuan Punya Peran Penting untuk Mencegah Korupsi, Caranya?

Menanggapi hal itu, Gerak Perempuan dan Kompaks mempertanyakan urgensi dan tujuan pertanyaan tersebut ditanyakan kepada para pegawai KPK yang ingin menjadi ASN.

"Melihat dari jenis tes dan pertanyaan yang diberikan dalam tes alih status pegawai KPK, kami mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan dari pelaksanaan tata cara dan tujuan tes peralihan ini. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah pemilihan model tes, pertanyaan yang diberikan, serta tata cara penilaian yang menjadi kriteria peralihan para pegawai KPK menjadi ASN," tulis Gerak Perempuan dan Kompaks pada Jumat (7/5/2021).

Mengingat pertanyaan tersebut tidak ada hubungannya dengan profesional pekerjaan, pihak Gerak Perempuan dan Kompaks melihat bahwa pertanyaan dalam tes wawancara tersebut dilakukan untuk menghilangkan orang-orang kritis di dalam tubuh KPK.

"Wadah Pegawai KPK (WP KPK) sebagai kolektif pegawai KPK memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga KPK dari gangguan pihak luar yang ingin menguasai dan menghancurkan KPK. Kekosongan orang-orang kritis di KPK tentunya akan menimbulkan kerugian besar bagi KPK untuk menjalankan fungsi secara maksimal dan optimal," jelasnya.

Baca juga: Duh, Perempuan Juga Punya Kecenderungan Korupsi! Ini Penjelasan KPK

Selain itu, pihak Gerak Perempuan dan Kompaks juga menilai bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat tes wawancara sangat tidak etis untuk ditanyakan.

"Gerak Perempuan bersama Kompaks menilai bahwa proses tes peralihan tidak dilakukan secara profesional dan etis, terutama pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seksis, dan diskriminatif. Proses profesional dan terhormat ini tercoreng dengan adanya orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan pegawai KPK yang menjadi peserta tes," tambahnya.

Atas kejadian yang terjadi, Gerak Perempuan dan Kompaks menuntut agar Presiden Joko Widodo membatalkan proses tes wawancara kepada pegawai KPK untuk peralihan jenjang ke ASN serta meminta Dewas KPK untuk memberi sanksi berat kepada Firli dkk yang dianggap ngawur.

Baca juga: Tak Bisa Pakai Hati, Lili Pintauli Siregar Harus Pakai Logika Selama Menjabat Sebagai Wakil Ketua KPK

Berikut tuntutan Gerak Perempuan dan Kompaks berdasarkan rilis pers:

  1. Kepada pimpinan KPK untuk membatalkan evaluasi yang dilakukan berdasarkan hasil tes ngawur semacam ini.
  2. Kepada Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi berat kepada Ketua KPK dan pimpinan KPK yang membentuk peraturan Komisi KPK dan melakukan tes ini serta pihak-pihak yang menjalankan tes ini.
  3. Kepada semua pihak menjamin keamanan dan perlindungan identitas dari para peserta tes yang diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak etis, seksis, rasis, dan diskriminatif.
  4. Kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan proses dan menganulir Tes Peralihan ASN tersebut yang terbukti melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK dan melampaui wewenang.
  5. Kepada Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang menerbitkan Keppres pengangkatan pimpinan KPK untuk menindak pimpinan KPK yang melakukan pelecehan terhadap pegawai KPK peserta tes melalui asesmen wawasan kebangsaan.
  6. Kepada pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi karena pengesahan UU tersebut justru semakin menghancurkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
  7. Kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh