Dilansir dari siaran pers, perempuan yang menjadi korban peserta TWK juga telah melaporkan hal tersebut kepada Komnas Perempuan dan melakukan dialog daring dengan pimpinan BKN serta perwakilan tim penguji pada Selasa, (12/05/2021).
Berikut beberapa informasi yang diperoleh pihak Komnas Perempuan usai berdialog dengan lembaga-lembaga terkait:
Baca juga: Catat! Ini 15 Jenis Kekerasan Seksual yang Sering Dialami Perempuan
- Mengapresiasi keberanian peserta uji untuk melaporkan pengalamannya akibat memperoleh pertanyaan yang dirasakan melecehkan, mengintimidasi dan bahkan memicu trauma. Pertanyaan yang dimaksud adalah terkait status perkawinannya, alasan perceraian, pilihan cara berpakaian, gaya hidup, kehidupan seksual dan hal-hal bersifat pribadi lainnya. Pertanyaan tersebut dilontarkan dengan sikap yang intimidatif dan tidak peka pada dampak yang dirasakan korban (peserta uji). Ada pula yang melaporkan pelecehan dalam bentuk komentar dari penguji berupa ajakan untuk menikahi sebagai istri ke-2;
- Mengidentifikasi adanya indikasi pertanyaan-pertanyaan tersebut melanggar hak kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan berekpresi/berpendapat dan hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual;
- Mengenali bahwa pengalaman tersebut di atas terutama terjadi pada fase wawancara. Tes Wawasan Kebangsaan dilakukan melalui 3 tahap yaitu: (1) Tes Tertulis dengan menggunakan Indeks Moderasi Beragama (IMB) 68 yang tersedia di TNI Angkatan Darat; (2) Profiling terhadap Pegawai KPK, dan (3) Wawancara yang didasarkan kepada hasil tes tertulis dan profiling. Penggunaan IMB 68 disebabkan hingga saat ini belum tersedia alat ukur yang lain;
- Mengidentifikasi bahwa kondisi tersebut di atas dapat terjadi karena muatan dan proses wawancara tidak dilengkapi dengan pedoman atau batasan dari pertanyaan untuk memastikan pemenuhan hak konstitusional warga, utamanya untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Padahal, pedoman ini sangat penting karena pewawancara juga diberikan keleluasaan untuk berkreasi atau mengembangkan pertanyaan;
- Mengidentifikasi bahwa meskipun ada sesi briefing untuk menyamakan perspektif pewawancara dalam menangkap kecenderungan peserta uji pada paham radikalisme, namun proses pembekalan belum mengintegrasikan perspektif HAM dan Hak Asasi Perempuan, termasuk tentang dampak yang berbeda dari pertanyaan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pewawancara juga tidak dilengkapi dengan ketrampilan mitigasi terhadap trauma yang mungkin ditimbulkan oleh pertanyaan tersebut, misalnya terkait dengan status perkawinan/perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga;
- Mencatat bahwa tidak ada standar pelaksanaan wawancara, yang tercermin dari perbedaan jumlah pewawancara dan pada prosedur wawancara seperti memperkenalkan diri, informasi ruang lingkup wawancara, serta hak peserta untuk tidak menjawab jika pertanyaan dianggap tidak relevan atau bersifat personal;
- Mencatat bahwa peserta uji memiliki akses informasi yang tidak utuh terkait proses pelaksanaan dan penerapan hasil pengujian, sehingga menimbulkan rasa was-was pada status kepegawaian dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian;
- Memahami adanya kekuatiran pada stigma sebagai pihak yang radikal atau yang tidak setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah setelah dinyatakan sebagai pihak yang tidak lolos TWK. Juga, pada dampak lanjutan dari stigma itu terhadap kehidupan diri dan keluarganya, termasuk potensi risiko khas gender yang akan dihadapi perempuan;
- Mengapresiasi sikap konstruktif BKN untuk memperbaiki mekanisme dan muatan pengujian wawasan kebangsaan dengan mengintegrasikan perspektif HAM yang berkeadilan gender. Juga, untuk turut mendukung pemajuan kepemimpinan perempuan dalam promosi jabatan di lingkungan kementerian/lembaga. (*)