Parapuan.co - Komnas Perempuan merespon kejadian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dinilai bias dan diskriminatif.
Pihak Komnas Perempuan mengatakan bahwa harusnya polemik mengenai tes tersebut bisa dicegah oleh berbagai pihak yang terkait.
“Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan pentingnya integrasi perspektif hak asasi perempuan di dalam semua muatan dan proses tes untuk rekrutmen penyelenggara negara dan pemerintahan. Selain itu, pengujian ini juga perlu dilengkapi dengan mekanisme informasi dan akuntabilitas pengujian yang dapat diakses dengan gampang oleh peserta uji. Melalui langkah-langkah ini, polemik serupa terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat dicegah berulang kembali.,” tulis pihak Komnas Perempuan dalam Siaran Pers tentang Urgensi Perspektif Hak Asasi Perempuan dalam Pengujian Calon Aparatur Sipil Negara, (12/05/2021).
“Proses pengalihan status kepegawaian di KPK didasarkan pada mandat UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN dan Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN. Pelaksanaannya difokuskan pada TWK yang dikoordinasi oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan melibatkan asesor dari multi instansi seperti Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS dan Pusat Inteligen TNI AD. Dengan menggunakan multi metode, tes ini dimaksudkan untuk mengukur tiga aspek, yaitu integritas, netralitas ASN dan anti radikalisme.,” tambah pihak Komnas Perempuan.
Baca juga: Gerak Perempuan dan Kompaks Kecam Tes Wawancara Pegawai KPK yang Dinilai Bias dan Diskriminatif
Komnas Perempuan juga melihat bahwa TWK yang dilakukan untuk pegawai KPK cenderung bermuatan pelecehan seksual dan diskriminasi berbasis gender.
“TWK di lingkungan KPK, khususnya pada bagian wawancara, telah menuai protes, terutama menyangkut sejumlah pertanyaan yang dipandang tidak bersangkut-paut dengan nilai-nilai kebangsaan dan kompentensi, melainkan cenderung bermuatan pelecehan seksual dan diskriminasi berbasis gender lainnya. Protes ini disampaikan oleh lembaga masyarakat sipil maupun lembaga agama yang sekaligus menuntut negara, termasuk Komnas Perempuan, meninjau-ulang seluruh materi dan proses uji tersebut.,”jelasnya.
Diketahui menurut rilis pers yang dikeluarkan oleh Gerak Perempuan dan Kompaks (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) bahwa pertanyaan bermuatan seksis dan mengandung pelecehan tersebut berupa pertanyaan mengenai status pernikahan, hasrat seksual, kesediaan menjadi istri kedua, serta apa saja hal yang dilakukan saat berpacaran.
Baca juga: KPK Ungkap Bahwa Perempuan Punya Peran Penting untuk Mencegah Korupsi, Caranya?
Dilansir dari siaran pers, perempuan yang menjadi korban peserta TWK juga telah melaporkan hal tersebut kepada Komnas Perempuan dan melakukan dialog daring dengan pimpinan BKN serta perwakilan tim penguji pada Selasa, (12/05/2021).
Berikut beberapa informasi yang diperoleh pihak Komnas Perempuan usai berdialog dengan lembaga-lembaga terkait:
Baca juga: Catat! Ini 15 Jenis Kekerasan Seksual yang Sering Dialami Perempuan
- Mengapresiasi keberanian peserta uji untuk melaporkan pengalamannya akibat memperoleh pertanyaan yang dirasakan melecehkan, mengintimidasi dan bahkan memicu trauma. Pertanyaan yang dimaksud adalah terkait status perkawinannya, alasan perceraian, pilihan cara berpakaian, gaya hidup, kehidupan seksual dan hal-hal bersifat pribadi lainnya. Pertanyaan tersebut dilontarkan dengan sikap yang intimidatif dan tidak peka pada dampak yang dirasakan korban (peserta uji). Ada pula yang melaporkan pelecehan dalam bentuk komentar dari penguji berupa ajakan untuk menikahi sebagai istri ke-2;
- Mengidentifikasi adanya indikasi pertanyaan-pertanyaan tersebut melanggar hak kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan berekpresi/berpendapat dan hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual;
- Mengenali bahwa pengalaman tersebut di atas terutama terjadi pada fase wawancara. Tes Wawasan Kebangsaan dilakukan melalui 3 tahap yaitu: (1) Tes Tertulis dengan menggunakan Indeks Moderasi Beragama (IMB) 68 yang tersedia di TNI Angkatan Darat; (2) Profiling terhadap Pegawai KPK, dan (3) Wawancara yang didasarkan kepada hasil tes tertulis dan profiling. Penggunaan IMB 68 disebabkan hingga saat ini belum tersedia alat ukur yang lain;
- Mengidentifikasi bahwa kondisi tersebut di atas dapat terjadi karena muatan dan proses wawancara tidak dilengkapi dengan pedoman atau batasan dari pertanyaan untuk memastikan pemenuhan hak konstitusional warga, utamanya untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Padahal, pedoman ini sangat penting karena pewawancara juga diberikan keleluasaan untuk berkreasi atau mengembangkan pertanyaan;
- Mengidentifikasi bahwa meskipun ada sesi briefing untuk menyamakan perspektif pewawancara dalam menangkap kecenderungan peserta uji pada paham radikalisme, namun proses pembekalan belum mengintegrasikan perspektif HAM dan Hak Asasi Perempuan, termasuk tentang dampak yang berbeda dari pertanyaan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pewawancara juga tidak dilengkapi dengan ketrampilan mitigasi terhadap trauma yang mungkin ditimbulkan oleh pertanyaan tersebut, misalnya terkait dengan status perkawinan/perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga;
- Mencatat bahwa tidak ada standar pelaksanaan wawancara, yang tercermin dari perbedaan jumlah pewawancara dan pada prosedur wawancara seperti memperkenalkan diri, informasi ruang lingkup wawancara, serta hak peserta untuk tidak menjawab jika pertanyaan dianggap tidak relevan atau bersifat personal;
- Mencatat bahwa peserta uji memiliki akses informasi yang tidak utuh terkait proses pelaksanaan dan penerapan hasil pengujian, sehingga menimbulkan rasa was-was pada status kepegawaian dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian;
- Memahami adanya kekuatiran pada stigma sebagai pihak yang radikal atau yang tidak setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah setelah dinyatakan sebagai pihak yang tidak lolos TWK. Juga, pada dampak lanjutan dari stigma itu terhadap kehidupan diri dan keluarganya, termasuk potensi risiko khas gender yang akan dihadapi perempuan;
- Mengapresiasi sikap konstruktif BKN untuk memperbaiki mekanisme dan muatan pengujian wawasan kebangsaan dengan mengintegrasikan perspektif HAM yang berkeadilan gender. Juga, untuk turut mendukung pemajuan kepemimpinan perempuan dalam promosi jabatan di lingkungan kementerian/lembaga. (*)