Parapuan.co - Kabar bubarnya grup musik favorit memang bukan sesuatu yang menyenangkan bagi penggemar.
Terlebih jika grup tersebut dianggap cukup bagus kariernya dan eksis di dalam maupun luar negeri.
Girlband Kpop GFRIEND, misalnya, yang baru-baru ini diisukan bubar karena para anggota tidak memperpanjang kontrak dengan agensi.
Sebelum GFRIEND, ternyata tak sedikit girlgroup yang bubar dan tiap-tiap anggotanya bahkan ada yang tidak lagi jadi penyanyi.
Sebut saja mantan anggota After School seperti Uee dan Lizzy yang sibuk jadi pemain drama.
Selain After School yang sudah tidak aktif dan GFRIEND yang belum jelas nasibnya, banyak grup perempuan di industri musik Kpop yang bubar begitu saja.
Baca Juga: Kompak Tinggalkan Agensi Source Music, Nasib Anggota GFRIEND Dipertanyakan
Mereka antara lain 2NE1, Sistar, Jewelry, Orange Caramel, 4Minute, Wonder Girls, Rainbow, dan masih banyak lagi.
Padahal, di kalangan boygroup yang seangkatan, seperti Super Junior, TVXQ, 2PM, JYJ, dan lain-lain tidak demikian.
Walau banyak pula grup laki-laki yang bubar, tetapi tidak sebanyak grup perempuan jika dibandingkan.
Boygroup bisa dibilang lebih awet ketimbang girlgroup apabila menyoal eksistensi di panggung musik.
Mengapa demikian? Alasannya barangkali sesuai dengan yang dilansir How Stuff Works berikut ini!
Posisi Boygroup Dibanding Girlgroup
Beberapa tahun terakhir, industri musik dunia didominasi dengan popularitas boygroup Kpop BTS.
Pada 2019, BTS menjadi band pertama sejak The Beatles, yang tiga albumnya berada di peringkat satu tangga lagu pop Amerika Serikat.
Salah satu video musik lagu BTS, yaitu yang berjudul Boy With Luv berhasil mendapatkan rekor views terbanyak di YouTube.
Pasalnya, hanya dalam 24 jam saja video musik lagu itu telah disaksikan sekitar 78 juta kali.
Alasannya, disebutkan bahwa boygroup mempunyai daya tarik yang amat jelas bagi penggemar.
Mereka menarik perhatian para perempuan, khususnya di usia remaja dengan menunjukkan kepribadian berbeda pada tiap-tiap anggota.
Ada yang menampilkan imej sebagai badboy, laki-laki pemalu, kocak, cuek, bahkan lugu.
Sasha Geffen dari The Fader menyebut, remaja perempuan yang tergabung dalam fandom boygroup menjadikan para anggota band favoritnya sebagai panutan dalam pembentukan identitas diri.
Baca Juga: 4Minute hingga 2NE1, Ini 5 Girlgroup Kpop yang Bubar Sebelum GFRIEND
"Fandom boy band telah berfungsi sebagai latihan pembentukan identitas yang mudah diakses di kalangan remaja selama beberapa dekade," tulis Sasha mengutip Fader via How Stuff Works.
Jika boygroup dianggap 'menjual' karakter dan identitas diri, maka tidak berbeda jauh dengan girlgroup, semisal Spice Girls.
Bedanya adalah, penggemar perempuan menyukai boygroup secara karakter individu tiap anggota.
Sedangkan untuk girlgroup, mereka lebih melihat grup favoritnya sebagai teman yang bisa diajak menyanyi bersama.
"Daripada menyukai para anggota, mereka melihat girlgroup berbicara tentang pengalaman mereka sendiri dan seseorang yang bisa diajak naik ke panggung," terang jurnalis musik Evelyn McDonnel.
"Mereka memproyeksikan diri mereka ke atas panggung bersama girlgroup, bukan memproyeksikan diri mereka ke kamar tidur," imbuhnya.
Grup Perempuan, Pelecehan, dan Feminisme
Evelyn McDonnel mencontohkan grup band bernama The Runaways yang tidak bertahan lama di industri musik.
Grup yang eksis di akhir tahun 1970-an ini sempat ngetop lewat lagu Cherry Bomb (1976).
Evelyn menulis buku tentang The Runaways yang disebutnya telah menjadi korban pelecehan.
Hal ini boleh jadi tidak dialami boygroup atau grup band laki-laki yang juga sama-sama berkarier pada masa itu.
Bahkan, Evelyn mengatakan pihak media juga melecehkan The Runaways dalam ulasan mereka.
"Mereka diperlakukan mengerikan oleh pers, dan disebut 'bitches' dalam ulasan. Dituduh tidak bisa memainkan alat musik," kata Evelyn.
Menurutnya, hal itu membuat para anggota tidak ingin melanjutkan karier mereka sebagai grup.
Baca Juga: Member 2NE1 Bantah Rumor Comeback Grup Setelah 5 Tahun Bubar
Berbeda dari Evelyn, Sasha Geffen menilai alasan girlgroup rentan bubar ada kaitannya dengan feminisme.
Bahwa pada awal kemunculan grup perempuan dan kejayaannya pada 1990-an sempat membuat para penggemar bersemangat merayakan feminisme.
Akan tetapi tren berubah dalam 20 tahun, di mana pesan feminisme lebih diunggulkan dalam musik yang lebih individualis.
Artinya, pesan feminisme akan lebih terasa apabila disampaikan oleh penyanyi solo perempuan, bukan grup.
Dalam hal ini, bisa jadi penyanyi solo seperti Taylor Swift, Ariana Grande, Rihanna, dan lain-lain telah membuktikannya.
Ketiganya adalah penyanyi kelas dunia yang banyak meraih penghargaan musik, terlebih Taylor Swift.
Kalau memang demikian kenyataannya di industri musik, mungkinkah di dunia hiburan Kpop juga seperti itu?
Bagaimana menurut Kawan Puan? (*)