Parapuan.co - Kanker paru masih menjadi kanker dengan angka kematian tertinggi di antara semua jenis kanker lainnya, baik di dunia maupun Indonesia.
Meski identik dialami pria, tak menutup kemungkinan penyakit mematikan ini menyerang perempuan.
Kondisi terkini menunjukka bahwa penyakit kanker paru juga banyak menyerang perempuan.
Bahkan seperti dikutip dari Kompas.com, kanker paru menjadi kanker yang paling banyak membunuh perempuan, mengalahkan kanker payudara.
Hal ini terjadi karena banyaknya perempuan yang merokok sekitar 50 tahun lalu.
Studi sebelumnya menyebutkan, kanker paru juga banyak diderita orang yang tidak merokok, terutama orang sering terpapar polusi udara dan asbes.
Kanker paru merupakan yang mematikan.
Pasalnya hampir tidak bisa dilakukan perbaikan pada pasiennya setelah dilakukan pengobatan. Terlebih lagi, penyakit ini sering kali terlambat untuk didiagnosis.
Data GLOBOCAN 2020 menunjukkan bahwa kematian karena kanker paru di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 18% selama dua tahun terakhir menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus.
Artinya saat ini di Indonesia ada empat orang meninggal akibat kanker paru setiap jam dan berpotensi untuk meningkat setiap harinya jika tidak dijadikan prioritas nasional.
Penelitian mengenai “Kualitas Hidup Pasien Kanker Paru” menyatakan bahwa pasien kanker paru akan mengalami penurunan kualitas hidup (QoL) drastis apabila dibandingkan dengan kanker lainnya, seperti dikutip dari buku Quality of Life of Patients with Lung Cancer karya Polanski, J. Jankowska-Polanska, dkk (2016).
Kondisi yang rumit ini jelas menghantarkan kanker paru menjadi kanker paling mematikan di Indonesia.
Maka keberhasilan penatalaksanaan pengobatan kanker paru di Indonesia ditentukan dari adanya akses pasien terhadap pengobatan yang berkualitas pula.
Saat ini, pasien kanker paru di Indonesia masih belum memperoleh akses JKN secara merata.
Berdasarkan Laporan Keuangan BPJS 2019, hanya 3% dana dari JKN yang telah dialokasikan untuk pengobatan kanker.
Dengan demikian, JKN hanya menjamin pengobatan personalisasi bagi penyintas kanker paru dengan mutasi EGFR positif.
Padahal hampir 60% dari penyintas kanker paru memiliki mutasi EGFR negatif dan masih hanya mendapatkan pengobatan kemoterapi.
Padahal, pengobatan kanker paru di Indonesia semakin inovatif dalam teknologi dan berstandar internasional termasuk imunoterapi.
Menanggapi situasi ini, Gerakan Nasional IPKP dan CISC menegaskan tiga poin rekomendasi penting terkait penanganan kanker paru di Indonesia.
Pertama, penyintas kanker paru berharap agar kanker yang paling mematikan ini menjadi prioritas nasional, karena kesehatan adalah hak asasi manusia dan penyintas kanker paru berhak mendapatkan pengobatan yang paling sesuai dengan tipe kanker paru yang dialami penyintas.
Selain itu, perlu adanya peningkatan SDM khususnya di layanan primer terkait protokol deteksi dini sehingga membuka akses penyintas terhadap skrining tumor pada paru.
Hal ini juga harus dioptimalkan dengan upaya berkesinambungan dalam mengedukasi gejala dan pengendalian faktor risiko kanker paru.
Kedua, terapi inovatif untuk kanker paru dengan mutasi EGFR negatif dan ALK positif, sehingga penyintas memperoleh hak melalui JKN secara penuh sesuai pedoman penatalaksanaan kanker paru.
Oleh karena kanker paru adalah kanker yang memiliki tingkat kematian tertinggi di Indonesia, sangat penting untuk menempatkan kanker paru sebagai urgensi nasional.
Rekomendasi untuk kanker paru IPKP mengacu pada UU No. 11/2005 Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya Pasal 12 (1), di mana Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap masyarakat untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
“Setelah memperingati hari kanker sedunia beberapa waktu lalu, kita kembali disadarkan bahwa situasi kanker paru di Indonesia masih dalam kondisi kritis.
"Tantangan yang dihadapi oleh penyintas kanker paru menjadi pemicu situasi kanker paru yang runyam di tanah air. Selain berjuang melawan kesakitan fisik, penyintas kanker paru juga menghadapi tantangan berupa beban psikologi, sosial, juga ekonomi.
"Pengalaman personal saya sebagai penyintas kanker paling mematikan ini juga adalah suka duka saat menjalani prosedur diagnosis dan pengobatan," ungkap Megawati Tanto selaku Koordinator Kanker Paru untuk CISC.
Upaya memprioritaskan peningkatan inovasi pada diagnosis dan pengobatan kanker paru penting secara nasional harus dibarengi dengan gerakan dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat awam dan penyintas untuk menekan laju kanker pembunuh nomor satu ini.
Dengan naiknya premi BPJS dan banyak obat kanker yang telah digantikan dengan generik atau biosimilar yang jauh lebih murah di tahun 2021.
Diharapkan pemerintah memiliki ruang anggaran untuk akses pengobatan yang berkualitas bagi penyintas kanker paru di JKN.
Pemerintah selanjutnya diharapkan dapat mewujudkan kepastian dan jaminan agar penyintas bisa mendapatkan akses terhadap pengobatan yang tepat sesuai dengan diagnosis.
"Demi meningkatkan kualitas hidup pasien yang lebih baik, pengobatan kanker paru telah tersedia di Indonesia dengan mengikuti panduan tatalaksana Kanker Paru dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sesuai dengan pedoman internasional, termasuk pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi target dan imunoterapi.
Baca Juga: Belum Genap Satu Bulan, Zaskia Sungkar Sudah Sunat Bayinya, Ini Manfaat Sunat Saat Bayi
"Terobosan dalam teknologi penanganan kanker paru terus berkembang dan tersedia di Indonesia dapat meningkatkan rata-rata angka harapan hidup atau median overall survival rate serta kualitas hidup penderita kanker paru di Indonesia,” ujar Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) selaku Anggota Pokja Onkologi Toraks Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
Pengobatan imunoterapi ini memiliki sistem kerja yang langsung menyasar atau menghambat pertemuan sel imun yang kerap dimanfaatkan oleh sel kanker untuk menghindari serangan dari sistem imun atau daya tahan tubuh.
Dengan begitu, sistem kekebalan pada penderita kanker akan terlatih kembali untuk aktif membunuh sel-sel kanker tersebut, seperti dikutip dari Media Xpress.
Imunoterapi diharapkan dapat menjawab kebutuhan penyintas dan dapat menekan laju pertumbuhan angka beban kanker paru.
“Peningkatan kualitas hidup penyintas kanker paru tidak terlepas dari kemudahan akses mendapatkan akses dari tahap diagnosis, pengobatan dan tatalaksana paliatifnya,” tambah Dr. Sita. (*)