Parapuan.co - Hingga kini, kasus pemaksaan perkawinan masih terus terjadi, apalagi menyangkut anak perempuan Indonesia.
Kasus ini tentu tidak bisa dianggap sepele dan enteng.
Sebab ada banyak hal yang dipertaruhkan dari praktik pemaksaan yang merugikan anak-anak perempuan ini.
Mulai dari kesehatan mental, fisik, hingga masa depannya kelak.
Baca Juga: Upaya yang Dilakukan KemenPPPA untuk Atasi Kasus Kekerasan Anak
Melansir postingan Komnas Perempuan di Instagram, Selasa (8/6/2021), CATAHU Komnas Perempuan mencatat ada peningkatan dispensasi pernikahan (pernikahan anak) hingga 3 kali lipat di tahun 2020.
Di mana 23.126 kasus terjadi di tahun 2019 dan 64.211 kasus terjadi di tahun 2020.
View this post on Instagram
Angka ini tentu menjadi bukti kasus ini tidak bisa dipandang remeh.
Meningkatnya angka dispensasi pernikahan anak yang dikabulkan Pengadilan Agama sendiri diketahui terjadi karena beberapa sebab.
Baca Juga: Mengenal Morphing, Pelecehan Seksual Online yang Dialami Citra Kirana
Mulai dari anak perempuan telah hamil, anggapan orang tua tentang risiko melanggar norma agama dan sosial, hingga untuk menghindari zina.
Padahal, beberapa sebab itu tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan praktik pemaksaan perkawinan.
Karena ada banyak dampak yang bisa muncul terhadap perempuan lebih-lebih anak perempuan.
Pertanyaannya, mengapa sebenernya pemaksaan perkawinan bisa terjadi?
Masih dari postingan Komnas Perempuan, ada beberapa hal menjadi landasan hal ini terjadi.
Pertama adalah jeratan hutang yang dimiliki.
Baca Juga: Lady Gaga Ungkap Alami Psychotic Break Pasca Pemerkosaan, Apa Itu?
Perempuan dan anak perempuan akhirnya menjadi korban pemaksaan pernikahan agar hutang tersebut bisa lunas.
Ada juga karena membalas kebaikan dan menutup aib karena perempuan tersebut sudah hamil.
Yang tak kalah memprihatinkan, alasan lain terjadi pemaksaan pernikahan adalah sebagai upaya mengurangi beban keluarga.
Baca Juga: Holly, Putri Gordon Ramsay, Bercerita Tentang Trauma Setelah Alami Kekerasan Seksual
Ada banyak pihak berpikir dengan menikahkan anak, beban keluarga akan berkurang dan perekonomian sedikit terbantu.
Masih ada juga alasan lain seperti perwarisan perbudakan, hadiah pemenang perang, dan yang terakhir penyelesaian kasus pemerkosaan.
Semuanya dijadikan sebagai alasan pemaksaan pernikahan menjadi hal normal yang terjadi.
Padahal, apapun alasannya memaksa seseorang menikah apalagi anak-anak yang belum bisa menentukan hidupnya adalah perbuatan yang sangat disayangkan.
Anak-anak seharusnya didukung untuk menggapai mimpinya, menyiapkan masa depan, dan bukan menanggung luka akibat paksaan tersebut. (*)