Parapuan.co - Tidak dimungkiri kalau kita sebagai perempuan Indonesia, hidup di dalam budaya patriarki yang amat kental.
Perempuan dilabeli dengan berbagai batasan dan aturan, sehingga mengekang kita untuk dapat berkembang.
Jangankan untuk memilih jadi manajer di perusahaan atau CEO startup-nya sendiri.
Baca Juga: Tantangan Maureen Hitipeuw, Founder Komunitas Single Moms Indonesia, dalam Menerima Dirinya
Untuk memutuskan bekerja atau tidak saja, perempuan tidak mendapat pilihan.
Budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi di mana kita adalah pihak yang tidak boleh bekerja, tidak perlu pendidikan tinggi, dan saat sudah dewasa butuh nikah lalu mengurus anak di rumah.
Setidaknya itulah pemikiran yang masih banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, dan mungkin juga orang tua serta saudara terdekat kita.
Orang tua kita percaya bahwa saat perempuan menginjak usia tertentu, idealnya harus sudah menikah, memiliki anak, dan jadi ibu rumah tangga yang mengurus buah hati di rumah.
Namun kenyataan tak selalu indah, bukan?
Banyak perempuan di luar sana yang justru merasa tidak bahagia setelah menikah, kehilangan jati dirinya karena harus selalu tinggal di rumah, dan yang lebih parah bisa menyebabkan stres.
Belum lagi kekerasan dalam rumah tangga baik verbal maupun fisik yang dialami oleh perempuan menikah.
Membuat mereka semakin tertekan dan berada di dalam kondisi tidak diuntungkan.