"Itu salah banget sih, membandingkan diri dengan pencapaian atau kehidupan orang lain. Gue nggak suka dengan diri gue saat itu. Ini Yuki yang mana sih.
"Aku nggak bisa kontrol. Aku mulai meragukan diri sendiri dalam segala hal, self-doubt dan toksikin diri aku sendiri."
Yuki pun menceritakan lebih jauh bahwa dirinya tidak hanya meragukan kemampuannya dalam hal pekerjaan, tapi juga di interaksinya dengan teman dan keluarga.
Ia bahkan pernah meragukan dan menyalahkan diri sendiri akan keputusan yang ia ambil untuk memilih tinggal di Jakarta daripada Jepang bersama dengan ayahnya.
"Bukan melulu soal kerjaan. Bahkan kayak ke pertemanan, ke keluarga aja, gue tuh kayak merasa, 'Gue tuh kayaknya bukan anak pertama yang baik, ya', 'Kenapa sih, gue pilih di Jakarta, coba kalau gue milih ikut bokap gue (di Jepang).
"Keluarga gue nggak akan misah-misah kayak gini. Kayak semua keluarga gue jadi satu gitu loh, di Jepang semuanya."
Tidak hanya sampai di situ, dalam hal pertemanan pun Yuki meragukan dirinya sendiri dan menganggap ia bukan sosok teman yang baik.
Apa yang ia lakukan selalu ia rasa kurang karena membandingkannya dengan orang lain.
"Gue mikir lagi 'Kenapa ya, gue nggak bisa jadi temen yang baik, kenapa sih, gue gak balas chat, kenapa sih, gue nggak bisa show affection.' Gue tidur pagi terus, cuma mikirin hal yang nggak penting."
Baca Juga: Inspiratif! Ini Pendapat Prilly Latuconsina Soal Perempuan Mandiri
Apa yang terjadi pada Yuki pun disebut sebagai existential crisis, suatu krisis yang terjadi dalam diri seseorang dimana ia mempertanyakan makna dan tujuan keberadaannya di dunia.