Banyak masyarakat yang merasa menjadi penggemar dan tergabung dalam komunitas ARMY merupakan hal yang sia-sia.
Maka mereka masih merasa asing dan heran dengan jumlah dan aktifnya ARMY di Indonesia.
Komunitas ARMY di Indonesia pun sering menerima ujaran kebencian dan pada akhirnya ujaran kebencian tersebut berujung pada adanya bias gender.
Bias gender adalah suatu kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin.
Terkait dengan masalah ini, PARAPUAN berkesempatan untuk berbincang dengan Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan pendengar setia musik K-Pop.
Penggemar K-Pop, termasuk ARMY di Indonesia mayoritas adalah perempuan.
Banyak warganet yang melihat fenomena fandom K-Pop ini sebagai fanatisme buta dari perempuan.
Baca Juga: Lawan Stigma Negatif Fandom K-Pop, BTS ARMY Help Center Kampanyekan Pentingnya Kesehatan Mental
"Masyarakat Indonesia melihat fandom ini sebagai bentuk fanatisme dari perempuan. Perempuan dianggap terobsesi dengan tampilan fisik dari boyband, lalu setiap tindakan langsung dihakimi, seakan perempuan tidak bisa memiliki kesenangan," ungkap Karlina.
Mulai dari perempuan remaja hingga dewasa, semua yang tergabung dalam komunitas ARMY pernah merasakan dan menemukan komentar seksis terkait ekspresi mereka kepada apa yang mereka sukai.
"Setelah adanya BTS Meal, masyarakat didukung media di Indonesia banyak mengangkat soal isu konsumerisme dan fanatisme perempuan tanpa melihat hak perempuan untuk menyukai sesuatu dan aksi sosial yang BTS ARMY siapkan di belakangnya," tambahnya.