Parapuan.co - Kawan Puan, setiap orang pasti memiliki hal-hal yang mereka sukai dan ikuti.
Hal-hal tersebut bisa jadi adalah buku, tokoh politik, tim sepak bola, dan grup musik atau penyanyi.
Setiap orang juga memiliki hak untuk menyukai suatu hal dan memiliki sesuatu yang digemari dapat memberikan manfaat yang baik seperti menjadi inspirasi, menambah semangat, dan sesederhana membahagiakan diri.
Terutama di masa pandemi Covid-19 ini yang menguji kesehatan mental banyak orang, menemukan sesuatu yang dapat memberikan kita semangat tanpa harus bepergian keluar rumah adalah hal yang penting.
Salah satu hal yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia adalah musik K-Pop.
Baca Juga: Komunitas BTS ARMY: Ruang Aman bagi Keberagaman dan Perwujudan Globalisasi Sesungguhnya
Industri musik Korea Selatan menciptakan istilah K-Pop dan berhasil membentuk budaya sendiri yang cukup kuat di negaranya sendiri hingga ke negara lain, termasuk Indonesia.
Kelompok penggemar atau fandom K-Pop di Indonesia sangatlah besar.
Salah satu fandom K-Pop terbesar di Indonesia adalah Adorable Representative MC for Youth atau ARMY, yang merupakan panggilan bagi penggemar dari boyband Korea Selatan, BTS.
Indonesia sendiri menyumbang 20% dari jumlah ARMY di seluruh dunia, lho!
Bahkan Korea Selatan yang merupakan negara asal BTS, menyumbang sekitar 3,7% ARMY.
Namun banyaknya jumlah ARMY di Indonesia tidak menjamin penerimaan yang seutuhnya dari masyarakat Indonesia.
Banyak masyarakat yang merasa menjadi penggemar dan tergabung dalam komunitas ARMY merupakan hal yang sia-sia.
Maka mereka masih merasa asing dan heran dengan jumlah dan aktifnya ARMY di Indonesia.
Komunitas ARMY di Indonesia pun sering menerima ujaran kebencian dan pada akhirnya ujaran kebencian tersebut berujung pada adanya bias gender.
Bias gender adalah suatu kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin.
Terkait dengan masalah ini, PARAPUAN berkesempatan untuk berbincang dengan Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan pendengar setia musik K-Pop.
Penggemar K-Pop, termasuk ARMY di Indonesia mayoritas adalah perempuan.
Banyak warganet yang melihat fenomena fandom K-Pop ini sebagai fanatisme buta dari perempuan.
Baca Juga: Lawan Stigma Negatif Fandom K-Pop, BTS ARMY Help Center Kampanyekan Pentingnya Kesehatan Mental
"Masyarakat Indonesia melihat fandom ini sebagai bentuk fanatisme dari perempuan. Perempuan dianggap terobsesi dengan tampilan fisik dari boyband, lalu setiap tindakan langsung dihakimi, seakan perempuan tidak bisa memiliki kesenangan," ungkap Karlina.
Mulai dari perempuan remaja hingga dewasa, semua yang tergabung dalam komunitas ARMY pernah merasakan dan menemukan komentar seksis terkait ekspresi mereka kepada apa yang mereka sukai.
"Setelah adanya BTS Meal, masyarakat didukung media di Indonesia banyak mengangkat soal isu konsumerisme dan fanatisme perempuan tanpa melihat hak perempuan untuk menyukai sesuatu dan aksi sosial yang BTS ARMY siapkan di belakangnya," tambahnya.
Karlina menggambarkan kegiatan menyukai dan mendukung musisi K-Pop sama seperti dengan kegiatan komunitas lain pada umumnya.
Menurut Karlina, komunitas penyuka olahraga juga melakukan hal yang sama dengan dukungannya yang besar untuk tim olahraga kesukaannya.
Mereka juga mengeluarkan uang untuk tiket pertandingan, baju tim, dan pernak-pernik tim lainnya.
Karlina melihat ketidakadilan tersebut sebagai bentuk bias gender yang sangat berdampak bagi perempuan di fandom K-Pop.
"Penggemar tim atau komunitas olahraga didominasi laki-laki dan mereka tidak mendapatkan label fanatisme atau konsumerisme dari masyarakat. Padahal, kegiatan yang mereka lakukan serupa dengan kegiatan fandom K-Pop," ujar Karlina.
Baca Juga: Persona, Shadow, dan Ego: Ketika Teori Psikologi 'Map of the Soul' dan Musik Disatukan oleh BTS
Karlina menilai opini dan pandangan masyarakat Indonesia cenderung memojokkan perempuan yang mengekspresikan kegemarannya terhadap musik K-Pop.
Hal tersebut berdampak pada kehidupan sehari-hari, mulai dari pertemanan hingga karier.
"Banyak perempuan penggemar BTS yang dianggap tidak profesional dalam pekerjaan," cerita Karlina.
Menurut Karlina, ujaran kebencian dan tindak bias gender tersebut telah membentuk trauma kolektif di fandom K-Pop di seluruh dunia termasuk ARMY.
Hal tersebut membuat para anggota memiliki keterikatan yang kuat dan tujuan yang ingin dicapai bersama.
BTS ARMY Census yang dilaksanakan pada tahun 2020 dengan 40.000 partisipan membenarkan bahwa BTS ARMY mayoritas adalah perempuan dengan jumlah persentase 87%.
Stereotip bahwa penggemar BTS adalah kumpulan perempuan fanatik dipertanyakan kembali dengan partisipasi ARMY di UNICEF dan dampak sosial di Indonesia serta dunia internasional lainnya.
Masyarakat secara global telah menyadari bahwa ARMY adalah komunitas yang kuat.
Baca Juga: Donasi 260 Juta Rupiah ke Driver Ojol, ARMY Indonesia Buktikan BTS Meal Bukan Tren yang Sia-Sia
Menarik garis dari stigma gender dalam fandom tersebut, perempuanlah yang menjadi kekuatan pendorong di balik aksi besar ARMY dan mereka adalah agen perubahan dan dampak sosial yang positif.
Pernyataan dari BTS ARMY Census sendiri mengatakan bahwa jika identitas gender dari penggemar K-Pop dan BTS adalah perempuan, fakta itu harus dirayakan, bukan disesali.
Penggemar perempuan sering diremehkan tetapi bukti yang dilihat oleh seluruh dunia adalah para perempuan tersebut mampu menjadi pemimpin dari aksi perubahan positif. (*)