Tidak peduli dengan umur, perempuan remaja hingga dewasa yang tergabung dalam komunitas ARMY pernah mengalami dan menemukan komentar seksis terkait ekspresi mereka kepada apa yang mereka sukai.
“Setelah adanya BTS Meal, masyarakat didukung media di Indonesia banyak mengangkat soal isu konsumerisme dan fanatisme perempuan tanpa melihat hak perempuan untuk menyukai sesuatu dan aksi sosial yang BTS ARMY siapkan di belakangnya,” tambah Karlina.
Baca Juga: Persona, Shadow, dan Ego: Ketika Teori Psikologi 'Map of the Soul' dan Musik Disatukan oleh BTS
Berdasarkan penggambaran Karlina, kegiatan menyukai dan mendukung musisi K-Pop sama seperti dengan kegiatan komunitas lain pada umumnya.
Sebagai contoh, komunitas penyuka olahraga juga melakukan hal yang sama dengan dukungannya yang besar untuk tim olahraga kesukaannya.
Mereka juga mengeluarkan uang untuk tiket pertandingan, baju tim, dan pernak-pernik tim lainnya.
Menurut Karlina, ketidakadilan tersebut sebagai bentuk bias gender yang sangat berdampak bagi perempuan di fandom K-Pop.
"Penggemar tim atau komunitas olahraga didominasi laki-laki dan mereka tidak mendapatkan label fanatisme atau konsumerisme dari masyarakat," ujarnya.
"Padahal, kegiatan yang mereka lakukan serupa dengan kegiatan fandom K-Pop," tegas Karlina.
Opini dan pandangan masyarakat Indonesia cenderung memojokkan perempuan yang mengekspresikan kegemarannya terhadap musik K-Pop.
Hal tersebut ternyata berdampak pada kehidupan sehari-hari perempuan di lingkungan pertemanan hingga tempat kerja.
Baca Juga: Donasi 260 Juta Rupiah ke Driver Ojol, ARMY Indonesia Buktikan BTS Meal Bukan Tren yang Sia-Sia
"Banyak perempuan penggemar BTS yang dianggap tidak profesional dalam pekerjaan," cerita Karlina.
Padahal, belum pasti semuanya begitu. Masalah profesional dan tidak, bukan diukur dari apakah mereka penyuka K-pop.
Menurut Karlina, ujaran kebencian dan tindak bias gender tersebut telah membentuk trauma kolektif di fandom K-Pop di seluruh dunia termasuk ARMY.
Trauma yang dirasakan bersama membuat para anggota memiliki keterikatan yang kuat dan tujuan yang ingin dicapai bersama.
Data dari BTS ARMY Census, yang dilaksanakan pada tahun 2020 dengan 40.000 partisipan, membenarkan bahwa BTS ARMY mayoritas adalah perempuan dengan jumlah persentase 87%.
Fakta partisipasi ARMY di UNICEF dan dampak sosial mereka di Indonesia serta dunia membuat stereotip bahwa penggemar BTS adalah kumpulan perempuan fanatik dipertanyakan kembali.
Secara global, masyarakat telah menyadari bahwa ARMY adalah komunitas yang kuat.
Jika kita tarik garis dari stigma gender dalam fandom tersebut, artinya perempuanlah yang menjadi kekuatan pendorong di balik aksi besar ARMY dan mereka adalah agen perubahan dan dampak sosial yang positif.
Baca Juga: Pesan Haru RM buat ARMY dalam Lagu Sendu 'Bicycle' untuk BTS Festa
Pernyataan dari BTS ARMY Census sendiri mengatakan bahwa jika identitas gender dari penggemar K-Pop dan BTS adalah perempuan, fakta itu harus dirayakan, bukan disesali.
Walaupun penggemar perempuan sering diremehkan, namun bukti yang dilihat oleh seluruh dunia adalah para perempuan tersebut mampu menjadi pemimpin dari aksi perubahan positif. (*)