Parapuan.co - Kawan Puan, terkait dengan tuntutan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS mengapresiasi kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baleg DPR RI sudah empat kali menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan membentuk Panitia Kerja (PANJA) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mereka telah bekerja untuk mewujudkan pengesahan RUU PKS pada Prolegnas 2021 dengan melakukan dua kali RDPU pada tanggal 12 Juli dan 13 Juli 2021.
Berdasarkan siaran pers yang PARAPUAN terima, PANJA RUU PKS telah mengundang kelompok yang melakukan penolakan maupun yang mendukung RUU PKS untuk melakukan diskusi sehat.
Kelompok tersebut termasuk perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil, praktisi dari Psikolog P2TP2A Jakarta, Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Cendekiawan Muslimah Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pakar Hukum Universitas Gajah Mada dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Baca Juga: Pelaku Pemerkosaan Anak Divonis Bebas, Ini Mengapa RUU PKS Penting untuk Disahkan
Dalam RDPU tersebut, Psikolog UPT P2TP2A DKI Jakarta, Vitria Lazarini, menyampaikan fakta lapangan terkait kekerasan seksual di Indonesia.
Vitria menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual semakin meningkat beberapa tahun terakhir ini, khususnya sepanjang pandemi Covid-19.
Kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan modus bujuk rayu, relasi kuasa, tipu daya, dan gang rape.
Dalam proses hukum, kasus kekerasan seksual juga sulit dibuktikan dan berdampak psikologis bagi korban.
Proses penegakan hukum di Indonesia yang masih tidak ramah kepada korban kekerasan seksual dapat menimbulkan trauma kekerasan yang berlapis.
Pengalaman Lembaga Layanan dalam mendampingi korban menemukan 9 bentuk Kekerasan Seksual juga masih belum diadaptasi dalam hukum Indonesia dan belum mempertimbangkan hak-hak korban secara komprehensif.
Pada kesempatan RDPU, ahli hukum juga menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang tindak pidana khusus kekerasan seksual serta naskah akademik terkait kasus-kasusnya.
Inilah yang mendorong Jaringan Masyarakat Sipil dengan konsisten mengadvokasi RUU PKS.
Menurut Jaringan Masyarakat Sipil, disahkannya RUU PKS adalah bentuk amanat Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu juga sebagai perwujudan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah menjadi hukum Indonesia dengan adanya UU No. 7 tahun 1984.
Demi mendorong PANJA RUU PKS dan Baleg DPR RI, Jaringan Masyarakat Sipil memiliki 6 pokok pikiran untuk ditinjau.
Baca Juga: Kenali Dampak Jangka Panjang yang Dirasakan Korban Kekerasan Seksual
Pertama, disempurnakannya definisi Kekerasan Seksual yang melahirkan 9 bentuk kekerasan seksual, sebagai upaya menyempurnakan kelemahan-kelemahan terkait jenis kekerasan seksual yang ada dalam KUHP dan undang-undang lainnya.
Kedua, pengaturan tentang penanganan kasus meliputi proses pengaduan dan pelaporan, penyidikan, penuntutan dan peradilan menjadi acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menjadi tindak pidana khusus.
Ketiga, mengatur kembali pemidanaan dengan model double track system yakni hukuman pidana dan tindakan. Keempat, pemulihan korban, keluarga korban dan saksi.
Kelima, menegaskan pencegahan kekerasan seksual melalui berbagai sektor antara lain infrastruktur, tata ruang, dan edukasi publik.
Terakhir, mengatur mekanisme koordinasi dan pengawasan lintas kementerian lembaga terkait.
Sebagai bentuk dukungan terhadap DPR-RI, Jaringan Masyarakat Sipil juga menuntut beberapa hal yaitu:
- Meminta dengan sangat kepada Pimpinan dan anggota BALEG DPR RI untuk segera pembahasan dan pengesahan RUU PKS dengan mempertimbangkan draft usulan dari Jaringan Masyarakat Sipil dan KOMNAS Perempuan sebagai rujukan substansi.
- Mengusulkan kepada BALEG DPR-RI untuk membuka kesempatan RDPU kepada pendamping korban dan aparat hukum, guna mendapat masukan faktual terkait kompleksitas penanganan korban kekerasan seksual jika tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
- Meminta DPR RI untuk tetap menerapkan prinsip transparansi dan partisipatif dalam setiap tahapan pembahasan RUU PKS sebagaimana dijamin dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan.
- Mengimbau kepada berbagai elemen masyarakat seperti jaringan akademisi, ahli hukum, pengacara dan pihak terlibat lain untuk terus memperkuat sinergitas dalam mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU PKS menjadi kebijakan substantif.
- Meminta pemerintah, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA), Kementerian Hukum dan HAM, dan KSP untuk aktif bersama-sama Baleg dalam merumuskan draft naskah akademis dan RUU sehingga memperpendek waktu proses harmonisasi.
Baca Juga: Pentingnya Suarakan Kekerasan Seksual, Salah Satu Medianya Bisa Lewat Podcast
Ke depannya, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan terus melakukan pengawasan terhadap perkembangan pengesahan RUU PKS. (*)