Masih menurut laporan Minderoo Foundation, jika tidak ada tindakan mengatasi masalah sampah ini, aliran plastik ke lautan akan tiga kali lipat jumlah pada 2040.
Kurang lebih 29 juta metrik ton per tahun, atau setara dengan 50 kilogram plastic per meter garis pantai di seluruh dunia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Ironisnya tak lebih baik dibandingkan negara lain, karena pengelolaan limbah di tanah air belum berjalan maksimal.
Menurut Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, fasilitas insinerator (waste to energy) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang hanya bisa mengolah 50 ton sampah per hari.
Jumlah ini tak bisa menyeimbangi total sampah yang masuk ke area TPA Bantar Gebang Jakarta sebanyak 7.000 hingga 7.500 ton per harinya.
Bisa dikatakan sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang Jakarta mencapai 140 kali lipat lebih banyak dari daya olahnya.
Baca Juga: Jangan Disepelekan! Ini Dampak Fast Fashion dan Perilaku Konsumtif Pada Ancaman Limbah Pakaian
Perlu diingat, ini hanya sebagian kecil dari total sampah yang ada di tanah air. Belum digabungkan dengan sampah-sampah lain dari seluruh Indonesia.
Hanya mengandalkan pemerintah untuk membenahi masalah limbah skincare dan kosmetik, tentu bukanlah hal yang bijak, mengingat kita masih tertinggal dalam soal teknologi pengelolaan sampah.
Sementara di saat yang bersamaan kita berlomba dengan waktu mengurusi masalah ini, demi mengurangi beban TPA dalam mengolah sampah.
Seperti yang disampaikan oleh Aretha, bahwa di TPA sendiri skincare dan kosmetik hanya ditimbun karena belum ada teknologi yang mumpuni untuk bisa mengolahnya menjadi energi.
“Coba bayangkan kalau nanti TPA sudah overloaded dan tidak ada tempat untuk buang sampah, lantas gimana? Mau kemana sampah itu dibuang?” ujar Aretha resah.
Maka dari itu, penting untuk kita segera bertindak mengatasi masalah bersama ini.
“Jadi memang kita harus bisa reduce the source, yang paling pertama adalah mengurangi sampah di level konsumen,” ujar Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi.