Limbah Skincare dan Kosmetik Kian Mengancam, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Citra Narada Putri - Selasa, 27 Juli 2021
Lebih dari 50 persen produk kosmetik menggunakan kemasan plastik yang tidak bisa didaur ulang.
Lebih dari 50 persen produk kosmetik menggunakan kemasan plastik yang tidak bisa didaur ulang. Getty Images/iStockphoto

Parapuan.co – Bagi sebagian besar perempuan, skincare dan kosmetik adalah salah satu hal penting untuk menunjang penampilan.

Bayangkan, berapa banyak skincare yang kita gunakan untuk membuat kulit sehat dan mulus. Termasuk kosmetik yang kita pakai untuk memaksimalkan riasan.

Namun, sadarkah kita bahwa begitu banyaknya produk kecantikan yang kita gunakan sehari-hari adalah salah satu yang berkontribusi pada rusaknya lingkungan?

Pasalnya, kemasan produk skincare dan kosmetik yang kita gunakan sehari-hari tersebut kebanyakan menggunakan material plastik yang tak ramah lingkungan.

Semakin meningkatnya jumlah produk kecantikan yang dijual dan dipakai turut menciptakan jumlah sampah plastik yang lebih tinggi.

Baca Juga: Jangan Buang Kemasan Skincare Bekasmu! Lakukan Ini untuk Selamatkan Lingkungan

Jika sampah plastik dari kemasan skincare atau kosmetik tidak dikelola dan didaur ulang dengan baik, sampah pun akan menumpuk dan menjadi masalah lingkungan.

Bahkan menurut laporan Cosmetic Packaging Market - Growth, Trends and Forecasts (2020-2025), hampir 50 persen kemasan produk kosmetik terbuat dari plastik.

Hal ini didukung oleh laporan Minderoo Foundation yang mengatakan bahwa industri kosmetik global memproduksi lebih dari 120 miliar unit kemasan setiap tahun, yang sebagian besar tidak dapat didaur ulang.

Jadi tabung lip gloss, kotak concealer, hingga wadah moisturizer yang kita kenakan sehari-hari kebanyakan berakhir di tempat sampah.

Atau lebih buruk lagi ke saluran air bersama dengan wadah plastik sekali pakai lainnya yang juga digunakan oleh milyaran orang setiap harinya.

Masih menurut laporan Minderoo Foundation, jika tidak ada tindakan mengatasi masalah sampah ini, aliran plastik ke lautan akan tiga kali lipat jumlah pada 2040.

Kurang lebih 29 juta metrik ton per tahun, atau setara dengan 50 kilogram plastic per meter garis pantai di seluruh dunia.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Ironisnya tak lebih baik dibandingkan negara lain, karena pengelolaan limbah di tanah air belum berjalan maksimal.

Menurut Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, fasilitas insinerator (waste to energy) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang hanya bisa mengolah 50 ton sampah per hari.

Jumlah ini tak bisa menyeimbangi total sampah yang masuk ke area TPA Bantar Gebang Jakarta sebanyak 7.000 hingga 7.500 ton per harinya.

Bisa dikatakan sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang Jakarta mencapai 140 kali lipat lebih banyak dari daya olahnya.

Baca Juga: Jangan Disepelekan! Ini Dampak Fast Fashion dan Perilaku Konsumtif Pada Ancaman Limbah Pakaian

Perlu diingat, ini hanya sebagian kecil dari total sampah yang ada di tanah air. Belum digabungkan dengan sampah-sampah lain dari seluruh Indonesia.

Hanya mengandalkan pemerintah untuk membenahi masalah limbah skincare dan kosmetik, tentu bukanlah hal yang bijak, mengingat kita masih tertinggal dalam soal teknologi pengelolaan sampah.

Sementara di saat yang bersamaan kita berlomba dengan waktu mengurusi masalah ini, demi mengurangi beban TPA dalam mengolah sampah.

Seperti yang disampaikan oleh Aretha, bahwa di TPA sendiri skincare dan kosmetik hanya ditimbun karena belum ada teknologi yang mumpuni untuk bisa mengolahnya menjadi energi.

“Coba bayangkan kalau nanti TPA sudah overloaded dan tidak ada tempat untuk buang sampah, lantas gimana? Mau kemana sampah itu dibuang?” ujar Aretha resah.

Maka dari itu, penting untuk kita segera bertindak mengatasi masalah bersama ini.

“Jadi memang kita harus bisa reduce the source, yang paling pertama adalah mengurangi sampah di level konsumen,” ujar Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi.

Ubah Gaya Hidup

Dari perspektif konsumen, disarankan oleh Aretha kita perlu mengubah gaya hidup untuk tak lagi bisa bersikap konsumtif.

Cara mudahnya, ia menyarankan kita untuk memakai produk skincare atau kosmetik yang berkualitas baik, namun tak perlu dalam jumlah banyak.

“Jadi lebih sustainable, terapkan quality over quantity,” ujarnya mengingatkan.

Aretha juga menyarankan kita tak selalu harus mengikuti tren kecantikan yang ada, misalnya seperti tren 10 step Korean skincare yang pernah viral.

Menurutnya, cara ini mendorong kita lebih boros menggunakan produk yang juga berkontribusi pada penambahan limbah kemasan skincare atau kosmetik.

Baca Juga: Ini 12 Tren Kecantikan Korea di 2021 yang Patut Dicoba Menurut Ahli

“Untuk skincare pun kita bisa fokus pada produk yang bagus. Tidak apa mahal sedikit, tapi tidak perlu layering banyak-banyak,” papar Aretha.

Cara lain yang juga bisa kita lakukan untuk mengatasi limbah kosmetik adalah menjual kembali skincare atau make up yang sudah tidak terpakai atau belum habis.

“Sekarang kan sudah ada platform seperti Carousell. Kita bisa jual yang preloved tapi masih aman dipakai,” ujarnya lagi.

Di sisi lain, kita juga bisa mulai beralih menggunakan kosmetik atau skincare dengan kemasan yang ramah lingkungan atau membeli produk isi ulang.

Intinya, kita perlu menemukan solusi alternatif agar kemasan produk tersebut tidak berakhir di TPA dan membebaninya.

Produsen Bertanggungjawab

Aretha pun menyarankan untuk para produsen kosmetik dan skincare agar bisa berbuat lebih banyak, salah satunya dengan menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR).

Untuk diketahui, melansir dari Waste4Change, EPR adalah mekanisme atau kebijakan dimana produsen diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual.

Termasuk kemasan saat produk atau material tersebut menjadi sampah.

Produsen membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup barang tersebut.

Skema EPR ini tak hanya dapat meminimalisir dampak lingkungan saja, tapi juga menekan biaya yang berkaitan dengan siklus hidup suatu produk, jauh setelah produk tersebut keluar dari pabrik dan digunakan oleh konsumen.

Baca Juga: Dukung Sustainable Beauty, Skincare Korea Luncurkan Produk dengan Kemasan Eco-Friendly

Menurut Aretha, salah satu skema EPR yang bisa dilakukan para produsen produk kecantikan adalah take back system.

“Konsumen yang mengembalikan kemasan produk ke toko akan mendapatkan diskon untuk pembelian selanjutnya. Ini saya lihat sudah diterapkan oleh beberapa brand di Indonesia,” ujarnya berdasarkan pengamatannya.

Selain itu, para produsen juga bisa membuat produk isi ulang atau memproduksi kemasan ramah lingkungan untuk meminimalisir limbah plastik.

Walau berdasarkan pengamatan Aretha skema ini belum banyak diterapkan para pelaku usaha di industri kecantikan, ia pun berharap ke depan akan makin banyak yang menerapkannya.

“Para produsen juga harus come up dengan inovasi dan program yang dapat mengurangi limbah. Kita harus bekerja sama baik itu konsumen maupun produsen,” tutupnya.(*)



REKOMENDASI HARI INI

Peran Perempuan Minim, DPR Refleksi Pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029