Parapuan.co – Sempat tertahan selama satu tahun karena pandemi Covid-19, Olimpiade Tokyo 2020 akhirnya terlaksana juga tahun ini.
Ada banyak hal menarik yang terjadi di kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia ini, khususnya bagi atlet perempuan yang menjadi perhatian karena prestasi-prestasi segar yang mereka dapatkan.
Mulai dari Momiji Nishiya, atlet perempuan berusia 13 tahun asal Jepang yang mendapatkan emas untuk cabang olahraga (cabor) Skateboard dan Hidilyn Diaz, atlet angkat besi pertama yang raih medali emas Olimpiade untuk Filipina.
Sementara dari tanah air, Gresia Polii dan Apriyani Rahayu menciptakan rekor baru sebagai ganda putri Indonesia pertama yang berhasil melaju ke babak semifinal sejak pertama kali cabor bulutangkis dipertandingkan di kancah Olimpiade.
Terlepas dari sejumlah terobosan yang banyak dilakukan oleh atlet perempuan, nampaknya ajang ini juga tak bisa lepas dari kontroversi-kontroversi yang juga masih memojokkan kaum hawa.
Baca Juga: Raih Medali Emas di Olimpiade Tokyo 2020, Sunisa Lee Dedikasikan Kemenangannya untuk Sang Ayah
Olivia Breen, juara dunia Paralimpiade dua kali, mengatakan bahwa seorang pejabat Inggris menyebut celana sprint-nya ‘terlalu pendek dan tidak pantas’ ketika ia berkempetisi di Kejuaraan Inggris ujung cabang olahraga lompat jauh.
“Saya telah mengenakan celana gaya yang sama selama bertahun-tahun dan mereka dirancang untuk kompetisi,” ujar Olivia seperti melansir CBS News.
“Ini membuat saya bertanya-tanya apakah atlet laki-laki akan dikritik dengan cara yang sama,” tambahnya.
Di sisi lain, topi renang khusus untuk rambut tebal, keriting dan bervolume yang dikenakan oleh Alice Dearing, perenang kulit hitam pertama Inggris di Olimpiade, dilarang oleh federasi olahraga air internasional (FINA) karena dianggap tidak mengikuti ‘bentuk alami kepala’.
Sementara, topi renang untuk rambut afro umumnya sulit ditemukan dan anggapan ‘bentuk kepala yang normal’ telah menyinggung kaum minoritas, khususnya orang kulit hitam dengan rambut keriting.
Hal ini pun semakin menunjukkan tidak inklusifnya federasi dalam menentukan aturan.
Rupanya, apa yang dialami Olivia Breen dan Alice Dearing juga dialami oleh atlet-atlet perempuan lainnya dari berbagai negara.
Seperti halnya yang dialami tim voli pantai putri asal Norwegia yang harus dikenakan denda 1.500 Euro (sekitar Rp 25 juta) karena mengenakan celana pendek atletik, alih-alih bikini dalam pertandingan perebutan medali perunggu melawan Spanyol di turnamen Beach Handball Euro 2021.
Pakaian tim voli pantai putri asal Norwegia tersebut dianggap ‘pakaian yang tidak pantas’.
Sementara tim voli pantai laki-laki selalu diizinkan untuk mengenakan celana pendek.
Karena kasus ini pula, penyanyi Pink bahkan mengaku bersedia membayarkan denda para atlet voli pantai putri Norwegia, sebagai bentuk dukungan melawan aturan yang sangat seksis.
Baca Juga: Allyson Felix, Sprinter Amerika Serikat yang Ajarkan Anak soal Kerja Keras Lewat Olimpiade
Dari kisah-kisah tersebut mungkin kita langsung bertanya-tanya, mengapa pakaian atlet perempuan selalu dipermasalahkan, sementara tidak pada atlet laki-laki?
Menurut Helen Jefferson Lenskyj, profesor University of Toronto, bahwa industri olahraga masih kerap bias gender.
“Ada olahraga di mana seksualisasi tubuh perempuan sangat penting, seperti senam, voli pantai dan bola tangan pantai termasuk yang teratas,” ujarnya kepada Global News.
Sayangnya, masih menurut Lenskyj, aturan berpakaian perempuan dalam olahraga telah ditentukan oleh tradisi turun temurun yang ketinggalan zaman dan cenderung bias gender.
Sering kali pula, atlet perempuan jadi perhatian sebagai objek seksual daripada prestasinya itu sendiri. Miris!
Rachael Jefferson-Buchanan, dosen studi gerakan manusia di Universitas Charles Sturt, menyoroti bahwa atlet perempuan menghadapi tantangan yang lebih berat karena tubuh mereka diawasi oleh federasi olahraga.
Kode berpakaian para atlet berada di bawah yuridiksi badan internasional yang mengatur untuk setiap olahraga.
Menurut International Olympic Comittee, Komite Olimpiade Nasional memiliki otoritas tunggal dan eksklusif untuk meresepkan dan menentukan pakaian dan seragam yang akan dikenakan, serta peralatan yang digunakan oleh anggota delegasi mereka pada pertandingan Olimpiade.
Sementara Lenskyj mengatakan bahwa aturan berpakaian ditentukan, sebagian besar, oleh uang dan kepentingan komersial.
Ironisnya, aturan itu kebanyakan dibuat oleh laki-laki yang berada di posisi kepemimpinan di federasi internasional.
Hal ini diawali sejak abad ke-19, ketika perempuan kelas menengah atas diizinkan terlibat dalam permainan seperti tenis rumput.
Melansir dari Time, mereka diharuskan mengenakan pakaian yang feminin, sederhana dan dirancang untuk menarik perhatian calon suami, alih-alih untuk meningkatkan fungsi atletis mereka.
Maka, pada era tersebut, korset dan gaun yang dikenakan oleh para atlet perempuan sangat membatasi kemampuan mereka untuk bergerak lebih bebas selama pertandingan.
Kemudian di pergantian abad ke-20, mulai terjadi reformasi pakaian perempuan untuk aktivitas fisik, yang mana korset mulai ditiadakan yang digantikan dengan gymslip serta tunik.
Kendati terdengar sebagai terobosan baru yang progresif, nyatanya federasi olahraga di era tersebut masih mengharuskan para atlet perempuan untuk menutupi bentuk tubuhnya, dengan dalih ‘menjaga kesopanan’ untuk peran ibu di masa depan dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa olahragawan perempuan, baik dulu hingga kini, masih dihadapi opresi yang sama.
Alih-alih dilihat dari prestasi dan kemampuan berolahraganya, para atlet perempuan masih dinilai dari pakaiannya.
Namun belakangan, para atlet perempuan tak lantas diam dengan tekanan-tekanan aturan yang bias gender.
“Ini membuka jalan bagi lebih banyak olahragawan perempuan untuk menentang aturan berpakaian yang didasarkan pada ide-ide kuno tentang seperti apa seharusnya perempuan, melalui mata laki-laki,” tulisnya dalam The Conversation.
Hal ini dibuktikan oleh apa yang dilakukan oleh pesenam perempuan asal Jerman yang memilih untuk mengenakan setelan seluruh tubuh atau unitard daripada triko standar selama babak kualifikasi.
Hal ini mereka lakukan sebagai sikap melawan seksualisasi dalam olahraga terhadap atlet perempuan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa setiap perempuan, semua orang, harus memutuskan apa yang akan dikenakan,” kata Elisabeth Seitz, salah salah pesenam Jerman tersebut.
Apa yang dilakukan oleh mereka pun menjadi penanda sudah saatnya kita harus fokus pada kemampuan berolahraga alih-alih pakaian yang justru menjadikan para atlet perempuan sebagai objek seksual.(*)
Baca Juga: Raih Emas, Tim Estafet Renang Perempuan Tiongkok Pecahkan Rekor di Olimpiade Tokyo 2020