Parapuan.co - Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk penghapusan perkawinan anak pada 2030 sebagai bagian dari pencapaian SDGs.
Penghapusan perkawinan anak akan berkontribusi terhadap pencapaian visi Indonesia Emas 2045 yang berdaulat, maju, adil dan makmur.
Perkawinan anak (child marriage) dan pemaksaan perkawinan (forced marriage) adalah contoh praktik-praktik berbahaya (harmful practice).
Sesuai siaran pers yang dipublikasikan Komnas Perempuan, selama pandemi Covid -19 dua tahun belakangan, terjadi lonjakan perkawinan anak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dispensasi perkawinan melonjak dari sekitar 23 ribu menjadi 64 ribu di Pengadilan Agama pada tahun 2020.
Kondisi demikian tentu berpotensi meningkatkan angka perkawinan anak hingga 13 juta dalam periode 2020-2030.
Berbicara tentang perkawainan anak, nyatanya perkawinan anak perempuan lebih banyak dibanding laki-laki.
Berdasarkan data, 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 menikah di bawah 18 tahun, sedangkan laki-laki 1 dari 100. Perbandingan yang sangat jauh ya, Kawan Puan.
Di beberapa daerah, perkawinan anak mungkin sangat terkait dengan adat bahkan kondisi ekonomi yang bisa jadi membaik setelah adanya perkawinan.
Tetapi, perkawinan anak tetap praktik berbahaya yang harus dihindari. Komnas Perempuan mencatat 6 bahaya perkawinan anak yang mengancam masa depan Indonesia khususnya bagi remaja perempuan sebagai korban:
Baca Juga: Maraknya Kekerasan Seksual Online, Apa Saja Data Pribadi yang Harus Dilindungi?
1. Pendidikan
Anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun, 4 kali lebih rentan dalam menyelesaikan pendidikan menengah/setara.
Bahkan setelah menikah, banyak remaja perempuan yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena mengurus rumah tangga atau hamil.
2. Ekonomi
Kerugian ekonomi yang diakibatkan perkawinan anak ditaksir setidaknya 1,7% dari pendapatan kotor negara (PDB).
Hal ini disebabkan oleh kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi jadi terhambat karena adanya perkawinan.
3. Kekerasan dan Perceraian
Perempuan menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian.
Hal ini disebabkan karena kondisi psikologis yang masih labil dan belum siap menghadapi permasalahan rumah tangga.
Pada dasarnya, perempuan di usia remaja ditakdirkan untuk bersekolah dan bersosialisasi untuk masa depan.
4. Angka Kematian Ibu (AKI)
Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan menjadi penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan usia 15-19 tahun.
Ibu muda yang melahirkan juga rentan mengalami kerusakan pada organ reproduksi.
5. Angka Kematian Bayi (AKB)
Selain angka kematian ibu, bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari.
Angka ini 1,5 kali lebih besar dibandingkan peluang bayi yang meninggal dari ibu berusia 20-30 tahun.
Baca Juga: Wajib Tahu! Ini Bentuk-Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online
6. Stunting
Menurut Survei Nasional Sosial dan Ekonomi, United Nations Children’s Fund dan Kidman (2016), 1 dari 3 balita mengalami stunting.
Perkawinan dan kelahiran pada usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting karena pada dasarnya ibu yang masih remaja membutuhkan gizi untuk tumbuh dan berkembang.
Lalu, apa jadinya bila gizi tersebut dibagi dua dengan bayi dalam kandungan hasil perkawinan anak? Stunting sangat mungkin terjadi.
Bahaya tersebut melanggar pemenuhan dan penikmatan hak-hak anak perempuan, termasuk Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) No. 31 dan Konvensi Hak Anak No. 18.
Dalam konvensi di atas, disebutkan kalau perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan mengingat anak belum mampu memberikan persetujuan secara bebas.
Oleh karena itu, perkawinan anak merupakan bentuk praktik berbahaya (harmful practice).
Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil mengusulkan agar perkawinan anak sebagai salah satu bentuk pemaksaan perkawinan yang dilarang dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Hal ini untuk melengkapi pengaturan larangan perkawinan anak yang telah ada dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
(*)
Baca Juga: Kenali Istilah Kekerasan Berbasis Gender Online, Tipe, dan Modusnya