Keempat, remaja yang kurang aktif lebih rentan terhadap penyakit gula ini.
Dewasa ini, remaja cenderung lebih banyak mennghabiskan waktu di depan gawai, sehingga mereka tak cukup melakukan aktivitas fisik.
Padahal, aktivitas fisik dapat membantu mengontrol berat badan anak.
Dengan melakukan aktivitas fisik, remaja akan menggunakan gula sebagai energi, sehingga sel-sel tubuh akan menjadi lebih responsif terhadap insulin.
Aktivitas fisik pun tak harus dengan lekakukan olahraga yang berat.
Remaja dapat memperbanyak aktivitas fisik ringan seperti berjalan kaki atau melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel atau mencuci piring.
Kegiatan ini sekaligus dapat mengajarkan remaja rasa tanggung jawab.
Faktor kelima adalah berat badan saat lahir dan diabetes gestasional.
Ternyata, bayi yang lahir dengan bobot rendah dan ibu yang mengalami diabetes gestasional, atau diabetes pada masa kehamilan, berpotensi menurunkan diabetes tipe 2 pada baik anak maupun ibunya.
Baca Juga: Sering Merasakan Kesemutan Ternyata Salah Satu Gejala Diabetes
Sehingga, bila remaja mengalami diabetes tipe 2, kemungkinan ini disebabkan oleh ibu yang mengalami diabetes pada masa kehamilannya.
Keenam, anak yang lahir secara prematur, atau lahir kurang dari 39 hingga 42 minggu kehamilan, berisiko lebih tinggi mengalami diabetes melitus tipe 2.
Terakhir, diabetes pada remaja dapat dipengaruhi pula oleh ras dan etnis.
Walaupun penyebabnya masih belum jelas, akan tetapi, diabetes melitus tipe 2 lebih sering diderita oleh orang berkulit hitam, Hispanik, India Amerika dan Asia Amerika.
Tingginya risiko diabetes melitus tipe 2 di kalangan anak dan remaja membuat orang tua harus semakin waspada dalam mengawasi nutrisi dan gaya hidup remaja.
Memastikan remaja mendapatkan nutrisi dan energi yang cukup, serta mendapat aktivitas yang cukup sangat penting demi menghindari remaja dari risiko diabetes melitus tipe 2 maupaun diabetes melitus tipe 1.
(*)