Film Penyalin Cahaya: Lingkungan Pendidikan Bukan Ruang Aman bagi Korban Kekerasan Seksual

Sarah D. Ekaputri - Jumat, 13 Agustus 2021
Film Penyalin Cahaya angkat isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan
Film Penyalin Cahaya angkat isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Rekata Studio/Kaninga Pictures

Parapuan.co - Sutradara muda Wregas Bhanuteja umumkan karya terbarunya yang telah melewati proses penggarapan selama setahun.

Wregas tak lain adalah pemenang film pendek terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan dua kali Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) untuk film pendek terbaik.

Karya terbarunya yang sudah ditunggu-tunggu tak lain adalah sebuah film panjang berjudul "Penyalin Cahaya".

Film panjang pertamanya ini mengangkat isu hangat bersinggungan dengan kekerasan seksual.

Baca Juga: Film Penyalin Cahaya Masuk Daftar Netflix Top 10 dan Populer di 26 Negara

 

Film ini mengisahkan seorang mahasiswi bernama Sur (Shenina Cinnamon) yang harus dicabut beasiswanya usai foto-foto saat mabuknya tiba-tiba merebak usai pesta komunitas di kampusnya.

Penyalin Cahaya akan mengisahkan bagaimana Sur, sebagai penyintas kekerasan seksual, berjuang untuk mengungkap kebenaran dari kasus yang dialaminya, dibantu oleh temannya, Amin (Chicco Kurniawan).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by FILM PENYALIN CAHAYA (@penyalincahaya)

 

Ide film ini sendiri datang dari pengamatan sang penulis skenario, yang tak lain adalah Wregas.

Wregas menuturkan, "Latar belakang yang paling kuat dalam membuat Penyalin Cahaya adalah banyaknya kejadian dari para penyintas kekerasan seksual yang mendapat ketidakadilan.

"Adanya berbagai macam stigma dan ketiadaan support system, ruang aman, dan pengetahuan masyarakat akan kekerasan seksual menjadi salah satu penyebab para penyintas memutuskan untuk memendam kejadian kekerasan yang mereka alami. Film ini adalah suara untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat kita hari ini,” ujar Wregas.

Adi Ekatama selaku produser film Penyalin Cahaya pun menuturkan hal yang sama.

Menurutnya, topik yang diangkat pada film ini sangat penting untuk mendapat perhatian dari seluruh kalangan masyarakat saat ini.

Film Penyalin Cahaya seolah turut mencoba menunjukkan pada masyarakat bahwa di lingkungan pendidikan sekalipun, tak ada ruang aman bagi penyintas kekerasan seksual seperti Sur.

Sur yang menjadi korban, justru harus memperjuangkan kebenaran sendiri dan malah mendapat ketidakadilan dan berbagai macam stigma

Padahal, kejadian yang dialami oleh Sur terjadi pada acara yang dihadiri oleh rekan-rekan komunitas di kampusnya sendiri.

Nyatanya, lingkungan pendidikan di Indonesia memang bukan tempat yang aman bagi penyintas kekerasan seksual.

Baca Juga: Kenali Dampak Jangka Panjang yang Dirasakan Korban Kekerasan Seksual

Mengutip KOMPAS.com, berdasarkan pengaduan yang datang ke Komnas Perempuan, dalam rentang waktu lima tahun, dari tahun 2015 hingga 2020, angka kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bersifat fluktuatif.

Pada tahun 2015, tercatat tiga kasus kekerasan, 10 kasus pada 2016, 3 kasus pada 2017, 10 kasus pada 2018, 15 kasus pada 2019, dan 10 kasus hingga Agustus 2020 yang diadukan ke Komnas Perempuan.

Dari total 51 kasus, lingkungan universitas menjadi sumber aduan terbanyak, yakni 27 persen.

Adapun 88 persen atau 45 kasus yang diadukan adalah berupa kasus kekerasan seksual yang terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan.

Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pun bagai fenomena gunung es, sebab aduan yang masuk ke Komnas Perempuan bisa jadi hanya segelintir dari banyak kasus yang tak dilaporkan akibat rasa malu, stigma dan tak adanya support system bagi penyintas.

Film Penyalin Cahaya, produksi Rekanata Studio dan Kaninga Pictures, bak membuka mata soal lemahnya perlindungan dan dukungan dari institusi pendidikan pada korban kekerasan seksual.

Tak jarang, alih-alih memberikan dukungan pada korban dan mengadili kasus kekerasan seksual secara serius, institusi pendidikan seperti sekolah maupun kampus berusaha menutupi kasus dan melindungi pelaku demi menjaga nama baik institusi.

Padahal, kekerasan seksual, khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan, memberikan dampak yang sangat besar pada korban secara seksual dan psikososial.

Menurut WHO, diantara dampak kekerasan seksual terhadap korban, terkhusus perempuan antara lain depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), kecemasan, dan gangguan panik.

Baca Juga: Peringatan 37 Tahun CEDAW, Komnas Perempuan Minta Hak Korban Pemerkosaan Terpenuhi

Sementara, dampak yang lebih fatal dapat berupa kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual (IMS), aborsi yang tidak aman, sampai dengan keinginan mengakhiri hidup.

Karenanya, film yang satu ini layak diangkat ke layar lebar dan disaksikan oleh seluruh kalangan masyarakat.

"Lewat cerita film ini, semoga semakin banyak orang memahami berbagai macam lapisan subjek yang diangkat di dalam film ini, sehingga mendorong terciptanya environment yang benar-benar aman dan mampu melindungi seluruh golongan masyarakat dalam menjalankan aktivitas-aktivitasnya," ujar Adi, yang juga memproduseri film pendek karya Wregas Bhanuteja berjudul "Tak Ada yang Gila di Kota Ini".

Kawan Puan pun dapat menyaksikan film Penyalin Cahaya tak lama lagi. Ikuti terus info tentang film Penyalin Cahaya lewat Instagram @penyalincahaya, ya! (*)

 

Sumber: WHO,Siaran Pers,KOMPAS.com
Penulis:
Editor: Aghnia Hilya Nizarisda


REKOMENDASI HARI INI

Ada Budi Pekerti, Ini 3 Film Indonesia Populer yang Bertema Guru