Parapuan.co – Kemerdekaan Indonesia yang mencapai 76 tahun sekarang ini tak lepas dari peran para pahlawan yang memperjuangkannya.
Tak hanya laki-laki, perempuan pun punya peran penting dalam memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.
Para pejuang perempuan ini ikut terjun di medan perang untuk mengusir penjajah.
Baca Juga: Merah Putih Berkibar, Upacara Detik-Detik Proklamasi Berlangsung dengan Khidmat
Mulai dari mengatur strategi perang hingga membunuh musuh, lima pahlawan perempuan berikut ini patut kita ketahui, Kawan Puan.
1. Cut Nyak Dhien
Lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848, Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, seperti yang dilansir dari Kompas.com.
Pahlawan perempuan Indonesia ini mulai terjun ke medan perang pada tahun 1880.
Akibat perang, suami pertamanya yaitu Teuku Cek Ibrahim Lamnga tewas saat bertempur pada 29 Juni 1878.
Bahkan suami keduanya, yakni Teuku Umar juga tewas tertembak pada 11 Februari 1899.
Namun dia terus berjuang melawan Belanda hingga ditangkap dan diasingkan di Sumedang, Jawa Barat bersama tahanan politik Aceh lainnya.
Cut Nyak Dhien meninggal di pengasingan pada 6 November 1908 dan makamnya ditemukan pada 1959.
2. Cut Meutia
Tak hanya Cut Nyak Dhien, Aceh juga punya pejuang perempuan lain yang Bernama Cut Meutia.
Melansir Tribun Wiki via Sosok.grid.id, Cut Nyak Meutia merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Meski begitu, ia ikut bergerilya melawan Belanda sejak tahun 1901.
Ia menikah dengan Pang Naggroe setelah suami pertamanya, Teuku Tjik Tunong, meninggal dunia karena dihukum mati oleh Belanda.
Baca Juga: Bukan HUT RI Ke-76, Ini Penulisan dan Ungkapan Tepat Merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia
Selama mengangkat senjata, ia berhasil menyerbu pos-pos Belanda.
Bahkan membunuh dan merampas senjata tentara Belanda pada tahun 1907.
Walaupun suaminya, Pang Nanggroe gugur karena ditembak Belanda, ia tetap berjuang untuk tanah air.
Hingga akhirnya ia gugur pada tanggal 24 Oktober 1910 di Alue Kurieng, Aceh.
3. Laksamana Keumalahayati
Satu lagi pahlawan asal Aceh, yakni Laksamana Keumalahayati.
Malahayati merupakan laksamana perempuan pertama di Indonesia dan juga dunia lho, Kawan Puan.
Malahayati sudah berperang jauh sebelum Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, tepatnya pada tahun 1599.
Baca Juga: Jadi Elemen Penting dalam Upacara 17 Agustus, Ini Sejarah Paskibraka
Ia membentuk Inong Balee, laskar perempuan dan mampu mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Seperti namanya, Inong yang berarti perempuan dan Balee yang berarti janda.
Ia berhasil melatih para janda untuk menjadi prajurit Kerajaan Aceh yang tangguh.
Salah satu aksi heroiknya adalah Ketika ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman pada 11 September 1599 di atas geladak kapal.
Cornelis de Houtman merupakan penjajah Belanda pertama yang menjejakkan kaki di Nusantara.
Menurut catatan sejarah, Cornelis de Houtman tewas setelah kena tikam rencong Laksamana Malahayati, sebagaimana dilansir dari National Geographic.
4. Martha Christina Tiahahu
Di usianya yang baru 17 tahun, Martha Christina Tiahahu turut berperan serta dalam perjuangan rakyat timur untuk melawan penjajah.
Ia lahir pada 4 Januari 1800 di Nusa Laut, sebuah pulau yang terletak 70 kilometer dari Kota Ambon, Maluku.
Ayahnya adalah Kapiten Paulus Tiahahu, orang terpandang di Nusa Laut.
Baca Juga: Ikut Perang Lawan Belanda di Usia 17 Tahun, Ini Kisah Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu bergabung dengan perlawanan Thomas Matulessy atau yang kerap kita kenal dengan Kapitan Pattimura.
Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh imbas dari perubahan situasi politik Belanda dan Inggris di tahun 1810-1816.
Kala itu, rakyat Maluku terkena tanam paksa cengkeh dan pala. Pohon-pohon mereka ditebang dan para pemuda dipaksa masuk dinas kemiliteran.
Pada 17 Mei 1817, Benteng Duurstede jatuh ke tangan pasukan Pattimura. Akan tetapi, Belanda melawan balik.
Beberapa bulan kemudian, Belanda menangkap Pattimura dan melancarkan serangan umum.
Martha memimpin pasukan tempur perempuan dengan ikat kepala melingkar.
5. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Adi lahir di Serang pada 1752.
Saat Panembahan Serang menolak Perjanjian Giyanti yang dianggap merugikan rakyat, Belanda geram dan melakukan perang besar.
Kustiyah pun membantu ayahnya untuk menahan serangan Belanda.
Baca Juga: Sambut HUT RI, Ini 4 Novel Sastra Indonesia yang Ceritakan Sejarah dan Budaya Bangsa
Sayangnya, Kustiyah berhasil ditangkap dan dibawa ke Yogyakarta. Namun, ia berhasil melarikan diri setelah beberapa lama.
Kustiyah pun bergabung dalam Perang Diponegoro. Ia memiliki taktik strategi perang yang hebat. Karena hal inilah Diponegoro Kustiyah berperan sebagai penasihat dalam siasat perang.
Meski dalam kondisi dipikul tandu, Kustiyah tetap berperang dengan gigih. Karena itu, ia dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang.
Pada 1828 ketika perang masih berlangsung, Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 tahun. (*)