Penyintas kekerasan seksual di China telah menghadapi stigma yang buruk selama bertahun-tahun, baik dari lembaga resmi mau pun masyarakat.
Organisasi feminis di China pada tahun 2018 lalu mendorong perempuan untuk membagikan pengalaman mereka menjadi korban kekerasan seksual.
Sayangnya gerakan itu dengan cepat dibubarkan pemerintah yang memblokir diskusi online feminis, termasuk menyensor tagar dan banyak unggahan terkait.
Aktivis perempuan menilai kasus Kris Wu menunjukkan pemerintah masih enggan membahas pelanggaran seksual sebagai masalah sistemik.
Baca Juga: Korban Bertambah, Kris Wu Diduga Lecehkan Seorang Perempuan di Amerika
Pemerintah dan lembaga hukum lebih memilih untuk menyalahkan lingkungan sekitar dibanding para pelakunya.
Hal itu terbukti dengan badan pengawas pemerintah yang mengatakan bahwa kasus Kris Wu adalah akibat sisi kelam Ibu Kota dan lingkungan yang liar industri hiburan.
Para aktivis menilai kurangnya dukungan bagi para penyintas kekerasan seksual dan ketidaksetaraan gender mengakar dari banyak aspek masyarakat China.
Lv Pin, seorang feminis China yang sekarang tinggal di New York mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah China masih takut terhadap adanya gerakan aktivisme sosial, terutama perempuan.
Tak satu pun korban yang terlibat dalam kasus Kris Wu berani meminta bantuan kepada organisasi feminis.
Mereka juga takut bersuara soal gerakan #MeToo karena dengan mudah dapat menarik sensor di media sosial.
Baca Juga: Penyalin Cahaya, Film Panjang Pertama Wregas Bhanuteja Angkat Isu Kekerasan Seksual
Walau begitu, kedua kasus tersebut memberikan secercah harapan yaitu adanya kesadaran masyarakat terkait pentingnya kasus kekerasan seksual.
"Tidak peduli apakah mereka menyebutnya #MeToo atau tidak, intinya adalah ini refleksi bagi gerakan feminis di China," ucap Feng Yuan.
"Meskipun sebagian besar akun media sosial feminis terkemuka telah disensor, para korban selalu dapat menemukan cara mereka sendiri untuk berbicara," katanya lebih lanjut. (*)