Parapuan.co - Penyanyi Kris Wu resmi ditangkap oleh kepolisian dan kejaksaan Beijing atas tuduhan pemerkosaan kepada perempuan di bawah umur.
Tuduhan tersebut pertama kali kali muncul di platform media sosial Weibo beberapa bulan yang lalu.
Seorang perempuan yang masih duduk di bangku kuliah, Du Meizhu, menuduh Kris Wu telah melakukan kekerasan seksual.
Setelah Du Meizhu berani bersuara, banyak korban pemerkosaan yang akhirnya ikut melaporkan tindakan Kris Wu.
Baca Juga: Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual, Kris Wu Kehilangan Kontrak Kerja dan Terancam Hukuman Berat
Kris Wu melakukan tindak kekerasan seksual kepada perempuan-perempuan tersebut saat mereka sedang mabuk, dengan iming-iming tawaran pekerjaan di industri hiburan.
Karir Kris Wu di industri hiburan pun dinilai akan berakhir setelah penangkapannya bulan ini.
Banyak merek terkenal yang memutus kontrak kerja dengan penyanyi berusia 30 tahun tersebut.
Kasus kekerasan seksual Kris Wu ini telah membangkitkan gerakan feminisme #MeToo di China yang sempat surut karena dilarang oleh pemerintah.
Kasus Kris Wu bukan satu-satunya skandal kekerasan seksual yang mengguncang China dalam beberapa pekan terakhir.
Perusahaan e-commerce Alibaba baru-baru ini memecat seorang karyawan yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap karyawan lain selama perjalanan bisnis.
Korban dari kedua kasus tersebut mengunggah tuduhan mereka di media sosial China yang memicu kehebohan online dan mendorong polisi untuk menyelidikinya.
Tindakan cepat pihak berwenang mendapat pujian dari banyak orang di dunia maya.
Baca Juga: Louis Vuitton, Bvlgari hingga Lancome Putus Kontrak dengan Kris Wu Setelah Kasus Pelecehan Seksual
Warganet menilai dua kasus itu sebagai indikasi penegakan hukum dan peradilan pidana yang efektif di China.
Beberapa aktivis perempuan berpendapat bahwa dua kasus tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki nama besar.
Lalu bagaimana nasib korban pemerkosaan yang oleh pelakunya adalah masyarakat biasa?
"Tidak mengherankan bahwa kedua kasus tersebut telah menarik perhatian luas, mengingat Kris Wu dan Alibaba memiliki nama yang besar," kata Feng Yuan, seorang aktivis perempuan, dikutip dari CNN.
"Kasus ini adalah pengingat bahwa untuk banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang jika terdakwa tidak begitu terkenal atau berpengaruh mungkin tidak akan didengar sama sekali," tegasnya.
Penyintas kekerasan seksual di China telah menghadapi stigma yang buruk selama bertahun-tahun, baik dari lembaga resmi mau pun masyarakat.
Organisasi feminis di China pada tahun 2018 lalu mendorong perempuan untuk membagikan pengalaman mereka menjadi korban kekerasan seksual.
Sayangnya gerakan itu dengan cepat dibubarkan pemerintah yang memblokir diskusi online feminis, termasuk menyensor tagar dan banyak unggahan terkait.
Aktivis perempuan menilai kasus Kris Wu menunjukkan pemerintah masih enggan membahas pelanggaran seksual sebagai masalah sistemik.
Baca Juga: Korban Bertambah, Kris Wu Diduga Lecehkan Seorang Perempuan di Amerika
Pemerintah dan lembaga hukum lebih memilih untuk menyalahkan lingkungan sekitar dibanding para pelakunya.
Hal itu terbukti dengan badan pengawas pemerintah yang mengatakan bahwa kasus Kris Wu adalah akibat sisi kelam Ibu Kota dan lingkungan yang liar industri hiburan.
Para aktivis menilai kurangnya dukungan bagi para penyintas kekerasan seksual dan ketidaksetaraan gender mengakar dari banyak aspek masyarakat China.
Lv Pin, seorang feminis China yang sekarang tinggal di New York mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah China masih takut terhadap adanya gerakan aktivisme sosial, terutama perempuan.
Tak satu pun korban yang terlibat dalam kasus Kris Wu berani meminta bantuan kepada organisasi feminis.
Mereka juga takut bersuara soal gerakan #MeToo karena dengan mudah dapat menarik sensor di media sosial.
Baca Juga: Penyalin Cahaya, Film Panjang Pertama Wregas Bhanuteja Angkat Isu Kekerasan Seksual
Walau begitu, kedua kasus tersebut memberikan secercah harapan yaitu adanya kesadaran masyarakat terkait pentingnya kasus kekerasan seksual.
"Tidak peduli apakah mereka menyebutnya #MeToo atau tidak, intinya adalah ini refleksi bagi gerakan feminis di China," ucap Feng Yuan.
"Meskipun sebagian besar akun media sosial feminis terkemuka telah disensor, para korban selalu dapat menemukan cara mereka sendiri untuk berbicara," katanya lebih lanjut. (*)