Sayang, menurut dr. Catur, banyak nakes yang mengabaikan tanda-tanda burnout yang dirasakan.
Nakes juga cenderung menyangkal perasaan negatif dalam dirinya, sehingga mereka tak segera mendapat pertolongan dari psikolog atau psikiater.
Padahal, tambah dr. Catur, stres dan burnout bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai kelemahan.
“Justru, ketika kita malu, ketika kita tidak memiliki keberanian untuk menyampaikannya, tidak punya compassion atau belas kasih dalam diri kita sendiri, tidak memiliki sebuah kejujuran untuk dapat berhubungan dengannya, Saya pikir justru akhirnya burnout tidak memiliki sesuatu yang membangkitkan kita, tapi justru akan melemahkan kita,” ungkapnya lebih lanjut.
Baca Juga: Pendampingan Psikologis Gratis untuk Tenaga Kesehatan DKI Jakarta yang Tangani Pasien Covid-19
Menurutnya, sebagai seorang nakes sekaligus mantan penyintas Covid-19, nakes perlu lebih peka dan jujur dengan apa yang dirasakannya dan tak ragu untuk kemudian mencari pertolongan.
Dipaparkan lebih lanjur oleh dr. Hervita, riset terhadap nakes di Indonesia ungkapkan fakta bahwa nakes butuh 97,7% kejelasan dalam aspek etik dan manajemen wabah.
Kebutuhan terbesar kedua dari nakes pun tak lain adalah kebutuhan akan infomasi dan edukasi sebesar 95,5%.
Disusul oleh kebutuhan akan pemeriksaan kesehatan sebesar 92,8%, kebutuhan tempat menyampaikan keluhan sebanyak 89,1%, dan kebutuhan layanan kesehatan jiwa yang angkanya tak kalah besar, yakni 54,5%.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut sangatlah krusial untuk dipenuhi demi terhindarnya nakes dari stres dan burnout dalam menghadapi situasi pandemi yang sengkarut.
(*)