Parapuan.co - Sempat menghilang, baik dari layar kaca maupun dunia maya selama dua minggu, keberadaan master Deddy Corbuzier sempat menjadi tanda tanya bagi masyarakat Indonesia.
Selama berminggu-minggu, magician sekaligus host dari podcast Close the Door ini, tak muncul, lalu tiba-tiba kembali ke dunia maya dengan membawa kabar yang menggemparkan.
"Saya sakit. Saya kritis," begitu Deddy membuka podcast pertamanya setelah hilang berminggu-minggu.
Baca Juga: Dicibir Remehkan Isu Kesehatan Mental, Deddy Corbuzier Angkat Bicara
Sontak, ungkapan Deddy ini mengejutkan semua orang.
Pasalnya, tak ada yang menyangka jika ayah dari Azka Corbuzier ini mengambil cuti sementara dari dunia sosial media akibat menderita penyakit parah.
Dari video terbaru yang diunggah di kanal YouTube-nya, Deddy akui sempat dinyatakan positif Covid-19.
Walau begitu, ia sempat membaik dan dinyatakan negatif.
Akan tetapi, ia tak menyangka jika di minggu kedua setelah dinyatakan negatif, ia mengalami demam sangat tinggi dan vertigo, hingga nyaris meninggal dunia.
Dokter pun menyatakan Deddy tengah menghadapi momen-momen badai sitokin yang hampir merenggut nyawanya.
Namun, apa sih badai sitokin itu, dan seberapa berbahaya kah kondisi ini?
Badai sitokin menjadi istilah yang mendadak populer setelah pandemi Covid-19 datang.
Dilansir dari Newscientist, sitokin pada dasarnya merupakan protein kecil yang dilepaskan oleh sel-sel tubuh, termasuk sistem kekebalan tubuh.
Sitokin berperan dalam mengoordinasikan respons tubuh terhadap infeksi yang memicu inflamasi atau peradangan.
Intinya, sitokin seharusnya membantu tubuh dalam melawan bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh.
Akan tetapi, respons tubuh terhadap infeksi kadang bisa jadi sangat berlebihan.
Jika kadar sitokin berlebihan atau tidak terkendali, sel-sel imun kemudian aktif dalam jumlah banyak, sehingga mengakibatkan hiperinflamasi.
Kondisi ini lah yang disebut sebagai badai sitokin (cytokin storm), yang bisa sangat fatal, bahkan dapat merenggut nyawa seseorang.
Badai sitokin sebenarnya bukan merupakan gejala komplikasi yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV2 penyebab Covid-19 saja, tapi juga flu dan penyakit pernapasan lainnya yang disebabkan oleh virus corona seperti SARS dan MERS.
Baca Juga: Perbedaan Reinfeksi, Long Covid, dan Psikosomatis Menurut Ahli
Gejala yang menandai fenomena badai sitokin bisa jadi sangat beragam dan berbeda pada setiap orang.
Deddy sendiri mengungkapkan bahwa gejala yang dialaminya adalah demam tinggi dan badan yang terasa sakit.
Dikutip dari sebuah studi pada tahun 2014, gejala badai sitokin dapat berupa demam, sakit kepala, mual, muntah, diare, kelelahan, pegal-pegal, dan rasa tidak enak badan.
Tapi bukan hanya itu, gejala badai sitokin juga dapat menyerang sistem pencernaan, pernapasan, kulit, syaraf, jantung, dan organ-organ lainnya.
Beberapa gejala lainnya dapat berupa:
- Hhypoxemia atau menurunnya saturasi oksigen dalam darah
- Napas cepat
- Hipotensi atau tekanan darah sangat rendah
- Ruam pada kulit
- Keruksakan ginjal
- Tremor
- Halusinasi
- Hyperbilirubinemia atau penyakit kuning
- Transaminitis yang disebabkan oleh hepatitis atau penyakit hati
Baca Juga: Beda dari Swab PCR, Muncul Tes Covid-19 dengan PCR Gargle, Apa itu?
Mengutip Verywellhealth, jika seseorang alami gejala-gejala yang menunjukkan badai sitokin, dibutuhkan perawatan intesif yang dapat berupa pemantauan tanda-tanda vital dan kadar elektrolit, pemasangan ventilator, infus, dan cuci darah.
Namun, pada dasarnya tak ada pengobatan yang secara langsung ditujukan untuk mengatasi kondisi badai sitokin.
Adapun hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi respons imun itu sendiri.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menemukan solusi yang tepat dalam penanganan fenomena badai sitokin pada pasien Covid-19.(*)