Parapuan.co - Kekerasan pada perempuan dalam hubungan pernikahan menjadi kasus kekerasan dengan jumlah terbanyak lho, Kawan Puan.
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT memiliki makna sebagai tindak kekerasan yang bisa menimpa suami, istri atau bahkan anak-anak.
Bisa menimpa siapa saja, angka kasus kekerasan ini bahkan tak kunjung menunjukkan hasil yang baik.
Meski berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 angka pengaduan KDRT mengalami penurunan, namun hal tersebut justru menjadi perhatian bagi pemerintah.
Penurunan angka kasus di masa pandemi Covid-19 ini disebabkan karena ternyata korban kekerasan pada perempuan tidak berani melapor.
Angka pelaporan yang kecil lagi-lagi disebabkan oleg korban dan pelaku yang "berdekatan" selama masa pandemi dan pembatasan sosial.
Selain itu, kebanyakan korban cenderung mengadu pada keluarga atau bahkan memilih diam.
Persoalan literasi teknologi dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online) juga menjadi masalah.d
Sehingga, penurunan angka kasus kekerasan pada perempuan di sepanjang tahun 2020 tak menunjukkan bahwa kasusnya benar-benar menurun karena ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Mungkin di antara Kawan Puan bertanya apa yang menjadi pemicu tindakan tidak menyenangkan tersebut.
Berikut alasan terjadinya perilaku kasar pada perempuan dalam rumah tangga, dilansir dari laman Marriage, Senin (20/9/2021).
Baca Juga: Kenali Tanda Kekerasan pada Perempuan dalam Hubungan Pacaran
1. Pikiran yang Kacau
Dalam hubungan yang diiringi dengan kekerasan sering kali menyebabkan pelaku memiliki pemikiran untuk menghancurkan orang lain.
Dalam pertengkaran sederhana pada pernikahan, pelaku mungkin berpikir bahwa orang lain tidak menghormatinya.
Dengan begitu, pelaku mulai berpikir untuk melakukan hal yang membuat mereka tidak terlihat lemah hingga kekerasan pada perempuan akhirnya dilakukan.
2. Tidak Mampu Mentolerir Saat Disakiti
Memang sulit bagi setiap orang saat disakiti oleh seseorang tersayang, ditambah ia adalah seseorang yang telah berkomitmen untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan.
Kehidupan pernikahan memang tak selalu indah, ada masa di mana hidup begitu berantakan yang menyebabkan stres karena menghadapi cobaan tak terduga.
Dalam kondisi tersebut, sebagai sepasang suami istri tentu harus tetap berbagi kesulitan bersama dan hal ini menjadi potensi satu sama lain jadi terluka.
Sepasang suami istri harus saling mendukung tidak berlaku pada orang dengan potensi kasar pada pasangan.
Pelaku cenderung tidak bisa mentolerir segala kesalahan. Untuk menutupi kondisi dirinya, ia akan menunjukkan perilaku kasar dengan bereaksi yang menyakiti orang lain atau pasangannya.
3. Tumbuh dari Keluarga Kasar
Trauma masa kecil lantaran menjadi korban kekerasan dari keluarga menjadi salah satu alasan pelaku kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga.
Banyak pelaku kekerasan yang memang berasal dari keluarga kasar dan kerap memperlakukannya buruk. Trauma milik pelaku kekerasan bisa terjadi secara fisik bahkan psikologis.
Sebab menjadi makanan di kehidupan sehari-hari, pelaku mungkin beranggapan bahwa perilaku kasar pada perempuan dalam rumah tangga adalah hal yang wajar.
Bahkan, pelaku mungkin bisa saja menilai bahwa hal tersebut adalah ungkapan peduli dan rasa sayang.
Baca Juga: Mengenal Silent Treatment, Kekerasan Pada Perempuan dalam Emosional
4. Kurangnya Batas
Pasangan suami istri yang terbiasa dengan perilaku kasar umumnya meyakini bahwa ikatan yang terjalin di antara tidak dapat dipatahkan.
Jauh dari kata romantis, hal tersebut justru cenderung membuat tidak adanya batasan di antara keduanya.
Meski sudah bersatu dalam ikatan pernikahan, masing-masing individu harus tetap memiliki batasan satu sama lain.
Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada pasangan pernikahan yang penuh dengan tindakan tidak menyenangkan.
Sebab tidak ada batasan di antara keduanya, satu sama lain akan mudah untuk menyalahgunakan pasangan dan mentolerir adanya tindakan kekerasan.
5. Kurang Empati
Bicara kekerasan sepertinya tidak lengkap jika tidak mengatakan bahwa hal tersebut terjadi salah satunya karena minim empati dari pelaku.
Pelaku menyaksikan sendiri bagaimana keterbatasan serta kelemahan yang dimiliki korban.
Alih-alih menunjukkan sikap empati, pelaku justru berpikir bahwa hal tersebut menunjukkan kekuatannya untuk mengendalikan orang lain.
Menjalani kehidupan pernikahan memang tidak mudah, tentu ada begitu banyak cobaan dan rintangan yang dihadapi.
Tetapi, menghadapi ujian dalam pernikahan tidak dengan melakukan kekerasan pada perempuan untuk menyelesaikannya.
(*)
Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan Sebabkan Panic Attack, Mengapa Bisa Terjadi?