Parapuan.co - Kawan Puan, beberapa tahun terakhir ini banyak nama sutradara perempuan yang mulai menguasai penghargaan dan festival film.
Jumlah perempuan yang bekerja di industri film memang mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pada tahun 2019.
Tetapi jumlah pekerja laki-laki masih lebih banyak daripada perempuan dengan empat banding satu dalam peran kunci di industri.
Peningkatan jumlah pekerja film perempuan tidak bisa lepas dari kerja sama antar perempuan dan gerakan women support women di industri film sendiri.
Guardian pernah melakukan riset terkait hal ini dengan hasil rata-rata perempuan menempati 20% dari peran di belakang layar pada 100 film domestik terlaris tahun 2019.
Baca Juga: Mengenal Female Gaze, Cara Lensa Perempuan Memandang Dunia dalam Film
Jumlah tersebut naik tajam dari 16% pada tahun 2018. Riset ini didukung oleh Pusat Studi perempuan dalam Televisi dan Film di Universitas San Diego.
Namun, dalam hal pekerjaan utama seperti sutradara dan sinematografer, laki-laki terus mendominasi.
Sundance Film Festival Asia menghadirkan panel diskusi bertajuk Women in Film Industry yang mengundang sineas perempuan Indonesia dan internasional.
Ada penulis dan sutradara Gina S. Noer, produser dan sutrada Nia Dinata, dan produser Susanti Dewi.
Selain itu ada pembicara produser film Amanda Salazar dari New York dan Sue Turley dari Los Angeles, Amerika Serikat.
Diskusi tersebut dilaksanakan pada hari Kamis (23/9/2021) lewat siaran langsung di aplikasi media sosial TikTok.
Dalam diskusi tersebut, para penelis membahas soal peran dan kesetaraan perempuan di industri film dunia.
Industri film sedari dulu didominasi oleh laki-laki, namun beberapa tahun terakhir, perempuan bisa mengambil tempat yang cukup setara.
Sue Turley secara langsung menjelaskan bahwa ini semua berkat para pekerja film perempuan terdahulu yang berjuang untuk hak berkarya.
"Berkat mereka kita ada di sini. Beberapa tahun ke depan, kamu mungkin akan melihat lebih banyak lagi perempuan yang ada di meja (industri film)," ungkap Sue.
Baca Juga: Male Gaze vs Female Gaze: Perbedaan Cara Pandang Perempuan dan Laki-Laki dalam Film
Di Indonesia sendiri, Nia Dinata sudah merintis karier di industri perfilman sejak tahun 1999, saat Indonesia secara politik baru mengalami masa reformasi.
Di masa tersebut, film Indonesia kembali berkembang secara independen, termasuk film produksi Nia Dinata.
Ia bersyukur karena kini industri film sudah terbuka bagi perempuan dan itu semua berkat para sineas perempuan senior yang berani memulainya.
"Saya ingat waktu itu ada Nan T. Achnas, ada Mira Lesmana, kemudian kita jadi komunitas kecil sineas perempuan yang saling tukar menukar informasi," cerita Nia Dinata.
Di awal kariernya, industri film Indonesia masih belum punya apa-apa karena baru saja merintis jalannya.
Maka, yang dimiliki oleh pekerja film perempuan pada saat itu hanyalah dukungan satu sama lain.
Berbeda dengan Nia Dinata, penulis dan sutradara Gina S. Noer yang menciptakan film Dua Garis Biru, tumbuh di masa film Indonesia mulai berkembang.
"Waktu SMA saya menonton film-film teh Nia Dinata, Mbak Mira Lesmana, akhirnya terbukalah harapan bahwa perspektif perempuan memiliki tempat," kata Gina.
Bagi Gina S. Noer, kesempatan perempuan di industri film dimulai dari adanya gerakan women support women.
Sesama pekerja film perempuan saling mendukung agar gaung cerita dan perspektif perempuan semakin terdengar.
Baca Juga: Film Dua Garis Biru: Melihat Pentingnya Keterbukaan dalam Keluarga bagi Anak Remaja
"Industri film di Indonesia dimulai dari women support women, ketika filmmaker perempuan saling dukung, seperti yang teh Nia ceritakan," ungkap Gina.
"Tidak hanya sesama filmmaker tapi juga penonton perempuan," tambahnya.
Namun Gina sangat menyayangkan bagaimana penonton perempuan sering dieksploitasi oleh produser yang tidak punya sensitifitas gender.
Bagi Susanti Dewi, seorang produser, ekosistem di industri film Indonesia kini sudah banyak melibatkan pekerja film perempuan.
Namun, Santi memiliki mimpi untuk membuat proyek yang semua kru yang terlibat adalah perempuan.
Santi merasa, selain harus adanya dukungan finansial, industri film Indonesia harus menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi perempuan.
"Perempuan harus bisa menyampaikan ide-ide kreatifnya dengan tetap merasa aman dan nyaman," ungkap Santi.
Seiring berkembangnya zaman, perempuan semakin berani untuk menyuarakan perspektifnya, termasuk di industri film.
Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki
Baik Gina, Nia, mau pun Santi percaya bahwa semangat women support women ini akan terus dibawa pekerja film perempuan dari masa ke masa.
Ke depannya, makin banyak perempuan Indonesia yang mulai percaya dengan kesempatan yang diberikan di industri film Indonesia bagi perempuan untuk berkarya. (*)