/photo/2021/09/30/suryani-institute-of-mental-heal-20210930062124.jpg)
Awalnya dari rasa bersalah
Ternyata Suryani pernah mengalami kejadian buruk yang membuka matanya, sebelum ia menjadi profesor ahli jiwa.
Saat sedang menjalani program Neuropsychiatry, ia mendapatkan pasien dengan keadaan fisik yang lumpuh, dari leher hingga ujung kaki.
Namun pasien tersebut berasal dari keluarga ekonomi bawah dan tidak mampu membeli obat.
“Tapi tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkannya, hanya dengan obat itu,” cerita Suryani dengan mata berkaca-kaca dilansir dari sumber yang sama.
“Pasien itu bilang ke saya, ‘ibu saya sesak, sesak sudah sampai dada.’ Dia (akhirnya) meninggal dihadapan saya. Saya sedih, karena saya tidak bisa membantunya. Andai
saja saya punya uang untuk bisa beli obat itu, saya pasti bisa bantu dia,” tambah Suryani yang sedikit menyesal.
Baca juga: Sosok Kartika Monim, Atlet Legenda Voli Pembawa Obor PON XX Papua 2021
Sejak saat itu, Suryani bertekad untuk mennyelamatkan orang sebisa mungkin.
Suryani bahkan tidak pernah memasang tarif tertentu kepada pasien yang datang.
Ia memperbolehkan pasien membayar dengan biaya sukarela.
Riwayat pendidikan Suryani
Pemilik tempat konseling Suryani Institute for Mental Health ini mengaku sudah menyukai meditasi ketika berusia 14 tahun.
Alumni lulusan sarjana kedokteran Universitas Udayana, Bali pada tahun 1972 ini, memilih mempelajari ilmu psikogi untuk melanjutkan pendidikannya.