Mengenal Sosok Suryani, Profesor Ahli Jiwa yang Bantu Banyak Orang

Aulia Firafiroh - Selasa, 5 Oktober 2021
Luh Ketut Suryani
Luh Ketut Suryani twitter

Parapuan.co- Nama Suryani sudah dikenal sebagai seorang profesor ahli jiwa di Bali yang banyak membantu orang dengan gangguan kesehatan mental.

Perempuan yang memiliki nama panjang Luh Ketut Suryani ini memiliki sebuah praktik konsultasi di kediamannya di Jalan Belimbing No 17, Denpasar, Bali.

Bahkan ia juga membuka praktik konsultasi dan meditasi bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.

Tak jarang, ibu enam anak ini memberikan pelayanan gratis dengan penuh kasih dan kesabaran meski antrian panjang.

Baca juga: Penjelasan Pemerintah Soal Rendahnya Keuntungan SBN Ritel ORI020

“Walaupun saya dokter, saya hanya ingin membantu banyak orang dengan melakukan meditasi. Saya mengambil sisi spiritual, jadi saya tidak boleh menolak orang yang datang. Kapan pun saya terima,” ujar Suryani seperti yang dikutip dari tabloid NOVA edisi 6-12 November 2017.

Suryani selau mempersilahkan siapa saja untuk datang ke tempat praktiknya meski tidak mengidap masalah kesehatan mental.

“Kami semua berkumpul di sini untuk melakukan meditasi selama dua jam. Tak semua menderita penyakit kejiwaan, siapa pun bisa datang,” ujar perempuan kelahiran
Singaraja, Bali, tanggal 22 Agustus 1944 itu.

 

Suryani Institute of Mental Health
Suryani Institute of Mental Health Suryani-institute

Awalnya dari rasa bersalah 

Ternyata Suryani pernah mengalami kejadian buruk yang membuka matanya, sebelum ia menjadi profesor ahli jiwa.

Saat sedang menjalani program Neuropsychiatry, ia mendapatkan pasien dengan keadaan fisik yang lumpuh, dari leher hingga ujung kaki.

Namun pasien tersebut berasal dari keluarga ekonomi bawah dan tidak mampu membeli obat.

“Tapi tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkannya, hanya dengan obat itu,” cerita Suryani dengan mata berkaca-kaca dilansir dari sumber yang sama.

“Pasien itu bilang ke saya, ‘ibu saya sesak, sesak sudah sampai dada.’ Dia (akhirnya) meninggal dihadapan saya. Saya sedih, karena saya tidak bisa membantunya. Andai
saja saya punya uang untuk bisa beli obat itu, saya pasti bisa bantu dia,” tambah Suryani yang sedikit menyesal.

Baca juga: Sosok Kartika Monim, Atlet Legenda Voli Pembawa Obor PON XX Papua 2021

Sejak saat itu, Suryani bertekad untuk mennyelamatkan orang sebisa mungkin.

Suryani bahkan tidak pernah memasang tarif tertentu kepada pasien yang datang.

Ia memperbolehkan pasien membayar dengan biaya sukarela.

Riwayat pendidikan Suryani

Pemilik tempat konseling Suryani Institute for Mental Health ini mengaku sudah menyukai meditasi ketika berusia 14 tahun.

Alumni lulusan sarjana kedokteran Universitas Udayana, Bali pada tahun 1972 ini, memilih mempelajari ilmu psikogi untuk melanjutkan pendidikannya. 

Ketertarikannya di dunia psikologi semakin kuat saat ingin mengenal lebih dalam tentang dirinya.

Kemudian Suryani memilih karier sebagai Asisten Neuropsychiatry di universitas yang sama pada tahun 1974.

Lalu pada tahun 1981, saat akan melanjutkan kuliah S2 di jurusan psikologi, kemampuan Suryani diremehkan oleh profesor.

Baca juga: Berikut Cara Membangun Bisnis Klinik Hewan agar Sukses untuk Pemula

“Dia mengatakan saya tidak mampu. Padahal selama tujuh tahun saya mengabdi, sudah banyak yang saya ubah, khususnya pasien syaraf. Lalu saya minta dia untuk menguji saya. Jika memang saya tidak mampu, saya akan keluar dari bidang ini,” Cerita Suryani dikutip dari tabloid NOVA.

Meski dianggap remeh, Suryani tak menyerah.

Perempuan yang kini berusia 77 tahun itu tetap gigih dan melanjutkan pendidikan Masternya di Universitas Airlangga, Surabaya.

Ia membuktikan bahwa dirinya mampu mengambil kajian tersebut.

Apalagi kajian yang dipelajarinya berkaitan dengan ilmu psikologi dan budaya.

Suryani menggabungkan dua kajian tersebut, yakni modern dan tradisional, untuk menemukan ketenangan batin dan jiwa.

Perempuan yang kini telah meraih gelar profesornya itu percaya jika hasil penggabungan dua aspek tersebut, mampu menghasilkan pemulihan jiwa.

Meski kini ia sudah tua, tapi semangatnya untuk berbagi kepada sesama wajib dijadikan inspirasi. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh