Parapuan.co - Dugaan kasus pemerkosaan yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan menjadi viral seiring adanya tagar #PercumaLaporPolisi.
Polisi pun diminta mengusut kembali kasus perkosaan yang diduga dilakukan ayah kandung terhadap ketiga anaknya ini.
Tak hanya itu, sebuah artikel jurnalistik yang mengungkapkan kasus perkosaan berjudul "Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan" yang diterbitkan oleh Project Multatuli pada Kamis (7/10/2021).
Baca Juga: Tanggapan Kementerian PPPA atas Kasus Pemerkosaan Tiga Anak di Luwu Timur
Dalam berita yang disampaikan, Polres Luwu Timur menghentikan penyidikan kasus pemerkosaan.
Artikel jurnalistik tersebut juga diberikan label hoaks melalui Instagram Story dari akun @humasreslutim.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) menyuarakan pernyataan tertulisnya.
KOMPAKS merupakan jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari 101 platform, kolektif, maupun organisasi dengan isu keberagaman, termasuk kekerasan seksual .
Tugas jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sehingga semestinya apabila ada sengketa jurnalistik, Polres Luwu Timur bisa melaporkan dan memberikan bukti kepada Dewan Pers.
Langkah pelabelan hoaks oleh Polres Luwu Timur ini adalah bentuk pencederaan dan penolakan terhadap korban atas situasi kekerasan seksual yang dialaminya, serta upaya pembungkaman kerja jurnalistik yang
tidak semestinya dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, KOMPAKS juga menyoroti nama ibu korban yang disebutkan secara jelas dalam Instagram Story tersebut, seperti dikutip dari rilis KOMPAKS pada Jumat (8/10/2021).
Sikap ini dianggap menunjukkan bahwa Polres Luwu Timur tidak memahami penanganan kasus yang berprespektif korban dan tidak menghormati data korban yang perlu dilindungi secara hukum.
Selain itu, diduga adanya upaya pembungkaman kerja jurnalistik yang tidak semestinya dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Melihat kondisi ini, KOMPAKS menuntut:
1. Polres Luwu Timur untuk segera mencabut label hoaks atas artikel Project Multatuli, meminta maaf atas tindakan penyebaran data pribadi ibu korban, serta memberikan sanksi yang tegas sesuai aturan yang berlaku pada petugas humas Polres Luwu Timur yang telah membocorkan data pribadi ibu korban melalui unggahan di akun Instagram @humasreslutim.
2. Polres Luwu Timur untuk segera mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan mengusut ulang penyelidikan kasus perkosaan dengan mengutamakan perspektif korban, yaitu mengedepankan hak perlindungan dan hak pemulihan korban dan keluarga korban, serta melakukan penanganan kasus secara transparan berdasar pada laporan korban dan bukti-bukti yang sudah disediakan oleh korban.
3. Polres Luwu Timur untuk menghentikan penyebaran pesan melalui media sosial yang bersifat mengintimidasi masyarakat yang menyuarakan dukungan kepada korban.
Baca Juga: 5 Bentuk Kekerasan pada Perempuan dalam Rumah Tangga
4. Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur untuk tidak melakukan intimidasi kepada korban dan menjaga privasi korban yang masih berusia anak.
5. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk melakukan evaluasi terhadap kasuskasus kekerasan seksual yang ditolak atau dihentikan serta menerbitkan peraturan internal penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban.
6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjamin keamanan korban anak dan ibu korban.
7. Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk mengawasi jalannya proses penanganan kasus untuk menjamin perlindungan korban anak dan ibu korban.
8. Seluruh awak media untuk mengutamakan hak korban saat melakukan peliputan, tidak menyebarkan data pribadi korban, dan mengutamakan peliputan yang berpihak pada korban dalam karya jurnalistik yang dihasilkan.
9. Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjamin hak-hak perlindungan dan pemulihan korban.
Kami berharap agar lembaga-lembaga terkait seperti LPSK, Komnas Perempuan, KPAI, KemenPPPA, serta kelompok masyarakat sipil lainnya yang memiliki kepedulian pada persoalan kekerasan seksual di Indonesia untuk terus memberikan dukungan dan ikut mengawal penuntasan kasus kekerasan seksual.
Baca Juga: Peringatan 37 Tahun CEDAW, Komnas Perempuan Minta Hak Korban Pemerkosaan Terpenuhi
Selain itu, KOMPAKS juga mengimbau seluruh masyarakat untuk:
1. Tidak turut serta menyebarkan data pribadi korban atau ibu korban.
2. Menyimpan bukti screenshoot apabila mendapatkan pesan DM dari akun Instagram @humasreslutim.
Menurut KOMPAKS, melalui rilisnya, situasi ini bukan satu-satunya bukti nyata buruknya penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Situasi ini kembali mengingatkan publik mengenai urgensi hadirnya landasan hukum yang dapat menjamin pemenuhan hak perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga korban.
(*)