3. Selai tanpa pengawet kimia
Kerben mulai banyak dimanfaatkan oleh penduduk desa sebagai bahan pembuatan selai.
Ini pun melewati masa percobaan dahulu, sebelum dapat menghasilkan selai yang enak sekaligus menarik dipandang.
Reni bercerita, awalnya selai dibuat dengan menghancurkan kerben dan mencampurkan gula. Tapi, selaput putih di bagian tengah buah ternyata membuat selai jadi tidak cantik.
Mencoba memperbaiki penampilannya, bagian tengah buah diambil dahulu, sebelum diolah.
Selanjutnya, mereka melakukan uji organoleptik (uji rasa dan uji aroma) dengan sejumlah warga.
Ketika sudah mendapatkan komposisi yang tepat, pengukuran dan cara pembuatan itu dijadikan patokan produksi.
Meski tanpa pengawet kimia sama sekali, jika dikemas dengan wadah kedap udara, selai kerben bisa disimpan selama dua minggu.
Dengan syarat, kemasannya tidak dibuka, sehingga tidak terkontaminasi oleh bakteri.
“Kami hanya menggunakan tambahan gula, garam, dan perasan lemon sebagai penguat rasa. Bahan-bahan ini juga berperan sebagai pengawet alami,” kata Reni.
Baca Juga: Jadi Favorit Banyak Orang Bahkan Idol Kpop, Ini 6 Manfaat Semangka
4. Punya nilai ekonomi dan ekologi
Produksi selai di Desa Suko Pangkat digawangi oleh ibu-ibu muda yang tergabung dalam KUPS Suko Suka.
Selai ini mampu memberi tambahan penghasilan kepada keluarga pengelola hutan di Suko Pangkat.
“Sumber ekonomi alternatif ini juga pada akhirnya membantu mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan,” kata Reni.
Selama ini selai dengan label Suko Selai tersebut dipasarkan di sekitar Jambi dan pasar-pasar khusus, misalnya pameran produk kehutanan.
Tampilannya cantik, dikemas dengan botol kaca yang ramah lingkungan.
Reni bercerita, “Sambutan pasar cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya permintaan produk setiap minggu. Namun, sejauh ini selai tersebut belum dipasarkan secara online, sehingga belum menjangkau pasar yang lebih luas.”
Inilah saatnya #TimeforActionIndonesia. #MudaMudiBumi bisa turun tangan dan ikut membantu agar selai ini dikenal luas.
Caranya, pesan selai kerben ini secara langsung dan promosikan kepada banyak orang melalui media sosial.
“Jika selai banyak terjual, maka masyarakat akan semakin fokus pada usaha ini. Dengan begitu, pembukaan hutan baru untuk perladangan bisa diminimalkan,” kata Reni.
(*)