Kekhasan Rupi terdokumentasikan lewat Milk and Honey dan The Sun and Her Flowers, dua karya yang secara estetika menunjukkan bagaimana puisi khas dia.
Lantas, apa yang baru atau berbeda pada Home Body dibandingkan dengan kedua pendahulunya?
Ingar-bingar ketenaran yang menyusul terbitnya karya-karya awal Rupi ternyata membawa kecemasan dan bahkan depresi dalam hidupnya.
Rupi merasa tidak siap, dan mungkin memang tidak ada orang yang benar-benar siap menghadapi ledakan tiba-tiba.
“Kecemasan menyergap saya dengan brutal pada 2015, saya ingat betul momen itu,” kata Rupi dalam wawancaranya dengan Tom Power di Q on CBC.
Media sosial memang menjadi rumah bagi Rupi dan karya-karyanya, tetapi tidak serta-merta menjadi rumah yang nyaman, yang memastikan penghuninya bisa tertidur tenang, tidak terganggu suara-suara bising, dan tidak perlu mencemaskan hantu-hantu gentayangan.
Media sosial mengenalkan Rupi kepada dunia, dan dunia yang dikenalinya sungguh kejam.
Home Body tercipta dalam situasi itu, kemudian menjadi karya yang Rupi sebut “love letter to the self”, surat cinta bagi diri. Dari menulis puisi-puisi dalam Home Body, Rupi menemukan suaranya kembali.
Baca Juga: Benarkah Burnout Bisa Menyebabkan Kemalasan? Ini Penjelasannya
Rupi membuka Home Body dengan sebuah pernyataan: setelah merasa terputus sekian lama/ kepala dan badanku akhirnya/ kembali bersama.
Kecemasan dan depresi membuat kepala seakan-akan terpisah dari tubuh kita. Sementara kepala menahan begitu banyak beban, tubuh terdampak, tidak berdaya untuk menjalani berbagai kegiatan dengan baik.
Home Body Rupi disusun dengan format serupa buku-buku sebelumnya, yakni setiap puisi tampil tanpa judul dan terhimpun dalam beberapa bagian.
Dalam buku ini, bagian-bagian itu berjudul “Kepala”, “Hati”, “Rehat”, dan “Sadar”.
Penjudulan bagian-bagian ini tampak runtut dan mengisyaratkan fase-fase perjalanan menemukan diri.