Parapuan.co - Pandemi Covid-19 membawa banyak dampak tak terduga dari berbagai macam sektor.
Bukan cuma perusahaan harus merumahkan karyawannya, namun juga para pekerja itu mengajukan resign selama pandemi kemarin.
Meski kedengarannya agak janggal, namun Time mencatat bahwa akhir tahun 2020 lalu banyak orang berhenti dari pekerjaan mereka.
Anthony Klotz, seorang profesor administrasi bisnis di Texas A&M University pun menyadari hal tersebut.
Baca Juga: Hadapi Perasaan Cemas dan Takut setelah Resign? Atasi dengan Cara Ini!
Bahkan, ia menilai kalau masih ada karyawan yang mempertimbangkan untuk resign dan akan melakukannya di 2021 ini.
Salah satu pemerciknya adalah rasa lelah dan stres yang dirasakan oleh karyawan selama bekerja di masa yang penuh ketidakpastian ini.
Banyak karyawan merasa lelah bukan cuma karena pekerjaan, tetapi juga keadaan yang membuat mereka kesulitan mendapatkan work-life balance.
Untuk itu, besar kemungkinan sebagian karyawan resign demi menemukan pekerjaan baru yang lebih bisa diselaraskan dengan minat atau kehidupan mereka.
Menariknya, urusan burnout atau stres bekerja ini tidak sepenuhnya bisa dibebankan pada karyawan.
Perusahaan pun punya andil dalam mengatasi karyawan yang merasakan stres dan burnout selama bekerja di masa pandemi Covid-19.
Psikolog Christina Maslach berpendapat bahwa resign besar-besaran seolah menjadi bukti, bahwa stres kerja kronis belum dikelola dengan baik oleh atasan.
Dengan banyaknya orang yang menyerahkan surat pengunduran dirinya ketika pandemi belum juga berakhir, perusahaan bisa mulai berbenah.
Baca Juga: Tak Perlu Resign, Ini Tips Pindah Karier di Perusahaan yang Sama
"Ada pengurangan massal dan sangat mahal bagi pemberi kerja untuk mengimbangi jumlah orang yang pergi," tutur Jennifer Moss, seorang pakar kesejahteraan tempat kerja.
"Mengingat ini adalah masalah mendasar sekarang, lebih banyak perusahaan yang ikut dalam program-program pembenahan," tambahnya.
Dan yang paling penting, mestinya masalah burnout karyawan ini menjadi fokus utama dan dianggap serius oleh perusahaan.
Perusahaan perlu menentukan sikap yang menurut Christina Maslach bisa dicoba, karena tidak ada obat burnout yang cocok untuk semua orang.
Maka itu, perusahaan dapat memfokuskan pembenahannya pada bisnis meliputi beberapa hal berikut:
- Menciptakan beban kerja yang dapat dikelola
- Memberi karyawan kendali atas pekerjaan mereka
- Menghargai dan mengakui pekerjaan yang bagus, baik secara finansial maupun verbal
Baca Juga: Mengenal Hybird Working, Budaya Kerja yang Muncul Sejak Pandemi
- Memperlakukan pekerja dengan adil dan setara
- Membantu pekerja menemukan nilai dalam pekerjaan mereka
Untuk mengetahui harus mulai dari mana, Christina menyarankan perusahaan bertanya kepada karyawan mereka.
Atasan tidak bisa hanya melihat masalah dari permukaannya saja tanpa melihat lebih dalam apa yang dialami karyawannya.
Dengan begitu, para eksekutif bisa berpartisipasi mendukung kesehatan mental karyawan dan membantu mereka menemukan work-life balance. (*)