Parapuan.co - Kawan Puan, apakah kamu tahu bahwa pendidikan dokter di Indonesia dulunya tidak sebaik dan sebanyak sekarang?
Pada zaman kolonial, profesi dokter di Tanah Air juga bisa dibilang tidak memiliki prospek yang tinggi seperti saat ini.
Kini, kamu bisa menjumpai banyaknya pendidikan kedokteran dan profesi di berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia.
Mulai dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan masih banyak lagi, punya Fakultas Kedokteran di kampus mereka.
Baca Juga: IDI Sebut Gaji Dokter di Indonesia Masih Minim, Ini Kisarannya?
Para lulusannya pun bisa dibilang tak sulit mencari tempat praktik atau melanjutkan pendidikan sebagai dokter spesialis.
Pasalnya, peluang tenaga kesehatan amat sangat dibutuhkan di tengah situasi pandemi dan makin kompleksnya kondisi di masyarakat sendiri.
Namun, tahukah Kawan Puan bahwa kemudahan yang diperoleh calon dokter zaman sekarang tak terlepas dari sejarahnya yang panjang?
Di masa kolonial dulu, orang yang berprofesi sebagai dokter bahkan hanya diperbolehkan menangani pasien cacar hingga disebut Mantri Cacar.
Itupun, sebagian besar mantri masih perlu mendapat pengawasan dari dokter Belanda saat menjalankan tugas dan perannya.
Pendidikan dan Profesi Dokter dalam Sejarah
Melansir laman resmi Fakultas Kedokteran UI, pendidikan kedokteran di Indonesia disebut lahir pada tanggal 2 Januari 1849 berdasarkan Keputusan Gubernemen No. 22.
Ketika itu, awal penyelenggaraan pendidikan kedokteran masih dilaksanakan di Rumah Sakit Militer.
Dua tahun kemudian, tepatnya Januari 1851, akhirnya dibuka Sekolah Pendidikan Kedokteran di Waltevreden.
Lulusan Maltevreden diberi gelar Dokter Djawa melalui Surat Keputusan Gubernemen tanggal 5 Juni 1853 No. 10, dan hanya dipekerjakan sebagai Mentri Cacar.
Baca Juga: Hari Jantung Sedunia: Langkanya Dokter Spesialis Jantung di Indonesia
Setelah sepuluh tahun, pendidikan kedokteran berubah sistem dan lulusannya bisa menjadi dokter yang berdiri sendiri.
Pada 1864, pendidikan dokter menjadi tiga tahun yang lulusannya diperbolehkan praktik di bawah pengawasan dokter Belanda.
Di tahun 1898, akhirnya berdiri sekolah kedokteran yang bernama Stovia atau School tot Opleiding voor Indische Artsen.
Kala itu, pendidikan dokter baru bisa diselesaikan setelah sembilan tahun, yaitu dua tahun pengenalan dan dua tahun pendidikan.
Sejak itu pendidikan kedokteran di tanah air terus berkembang hingga awal tahun 1900-an.
Akhir 1919, Belanda mendirikan Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis, sekarang disebut RSCM) untuk memantapkan kualitas lulusan kedokteran.
Rumah Sakit Pusat CBZ juga dipakai sebagai rumah sakit pendidikan oleh siswa Stovia.
Baca Juga: Ini Jenjang Pendidikan Dokter Gigi seperti Shin Min Ah di Hometown Cha Cha Cha
Hingga 1927, awalnya pendidikan dokter bisa diikuti lulusan SD (Sekolah Dasar) sampai akhirnya Geneeskundige Hooge School (GHS) diresmikan.
Pasca berdirinya GHS yang merupakan sekolah tinggi, syarat pendidikan minimal bagi calon peserta menjadi setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas).
Pada akhirnya, seperti yang Kawan Puan ketahui, untuk bisa bersekolah di kedokteran memang dibutuhkan ijazah setingkat SMA.
Sejarahnya cukup panjang, ya, Kawan Puan. (*)