Parapuan.co - Kasus kekerasan pada perempuan menjadi ancaman yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja.
Mirisnya, tren kasus ini pun semakin meningkat di masa pandemi Covid-19.
Mengutip dari laman Kompas.com, berdasarkan hasil laporan-laporan yang masuk ke sistem informasi online milik Kementerian PPPA (Simponi) terjadi peningkatan kasus kekerasan pada perempuan.
Sebelum pandemi, terdapat 1.913 kasus kekerasan terhadap perempuan, sedangkan di masa pandemi terjadi peningkatan sebanyak lima kali menjadi lebih dari 5.500 kasus.
Baca Juga: Tak Berbuat Apa-apa Saat Lihat Kekerasan pada Perempuan, Pahami Fenomena Bystander Effect
Meski begitu, tingginya peningkatan kasus bukan berarti kita tidak bisa melakukan tindakan pencegahan apapun.
Masih mengutip dari sumber yang sama, Ahli Ketahanan Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof. Euis Sunarti menjelaskan pendapatnya perihal pencegahan tindakan kekerasan pada perempuan, khususnya kasus kejahatan seksual.
Menurutnya, keluarga memiliki peran dalam mencegah terlahirnya individu sebagai pelaku maupun korban kasus kejahatan seksual.
Prof. Euis menyampaikan, keluarga adalah institusi pertama dan utama sebagai penentu akhlak, adab dan karakter individu.
Dengan kata lain, ketahanan keluarga yang baik diharapkan menjadi fondasi terbentuknya peradaban bangsa yang diharapkan dapat mencegah adanya perilaku kasar pada perempuan.
"Sejatinya tiap peraturan dan perundang-undangan adalah untuk manusia, yang seseorang terlahir dari dan berada dalam keluarga. Maka keluarga hendaknya menjadi basis pengembangan aturan dan pengambilan setiap kebijakan," jelas Prof. Euis.
Keluarga membangun manusia beradab
Sebagaimana kita ketahui, kasus kekerasan pada perempuan khususnya kejahatan seksual semakin meningkat.
Bagaimana membangun masyarakat madani Indonesia beradab, kalau kejahatan seksual terus terjadi, menurut Prof Euis.
Baca Juga: Saat Mengetahui Kekerasan pada Perempuan, Lakukan 5 Hal Berikut
"Oleh karenanya, Judicial Review ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasal 284, 285, 292 dalam rekomendasi Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatur perluasan delik kesusilaan dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)," papar Prof. Euis.
Beliau juga menyampaikan, semua sepakat bahwa ketahanan keluarga sebagai prasyarat untuk pencegahan kejahatan seksual.
Pasalnya, keluarga menjadi pihak yang paling setia menemani individu menghadapi berbagai kondisi.
"Dilihat dari dimensi kehidupan lain seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik. Keluarga menjadi basis perumusan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan lainnya," ungkapnya.
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga Indonesia adalah keluarga yang religius, hirarkis, dan harmonis.
Berbagi peran antara anggota keluarga
Hirarkis yang dimaksud di sini adalah adanya pembagian peran, fungsi, dan tugas antar anggota keluarga, bukan menjurus ke arah diskriminasi kepada perempuan.
Adanya hirarkis dengan optimalisasi dan harmonisasi kualitas feminim dan maskulin dapat mencegah lahirnya pelaku dan korban dari perilaku kasar pada perempuan, khususnya kejahatan seksual.
Pembagian peran dan fungsi dalam keluarga ini juga harus diterima oleh tiap anggota keluarga.
Tak hanya itu, masing-masing anggota keluarga juga harus memahami adanya perbedaan untuk saling memposisikan diri atas perannya masing-masing.
Kemudian, menurut Prof Euis, keluarga juga perlu mengawal perkembangan aqil-baligh anak-anaknya.
Dengan pembagian peran dan fungsi yang baik dalam keluarga, diharapkan dapat mencegah lahirnya individu yang dapat menjadi pelaku atau pun korban kekerasan pada perempuan. (*)
Baca Juga: 4 Bentuk Kekerasan dalam Hubungan yang Jarang Disadari, Apa Saja?