Manusia telah mampu menciptakan perangkat kerasnya, bahkan secara sederhana membuat entitas kecerdasan baru di luar dirinya. Inilah awal dari era kecerdasan buatan.
Kita tidak perlu repot membayangkan kecerdasan buatan seperti dalam film A.I. (Steven Spielberg).
Dalam bentuk paling sederhana, kita telah hidup bersama-sama (dan saat ini cenderung harmonis) dengan kecerdasan buatan.
Beberapa contohnya adalah video game yang dapat membuat variasi skenario, lampu lalu lintas yang “membaca” dan menyesuaikan dengan kondisi kepadatan jalan.
Selain itu, ada juga microwave cerdas yang dapat mendeteksi tingkat kematangan, hingga teknologi mesin pencari (search engine) yang dapat membaca semua preferensi kita, untuk nantinya membuat kustomasi dalam perilaku pencarian kita di belantara web.
Namun, cepat atau lambat, semua yang digambarkan dalam film karya sutradara ternama tadi pasti akan terjadi.
Baca Juga: Sukses di Dunia STEM, Inilah Sosok Fransiska Hadiwidjana Co Founder Women Works
Saat ini, para insinyur, programmer dan ahli dari disiplin ilmu terkait berlomba untuk “mencerdaskan” kecerdasan buatan itu sendiri.
Dari yang awalnya memerlukan manusia sebagai pengendalinya, menuju ke otonomi, sebuah kecerdasan yang mandiri, mampu melakukan analisis tanpa diminta, dengan hanya berdasarkan dinamika perubahan lingkungannya, membuat keputusan, mengoreksinya jika salah, dan bahkan memperbaiki sendiri sistemnya jika mengalami kerusakan.
Kita sudah sedekat itu menuju sebuah penciptaan “entitas hidup” yang baru di dunia ini.
Tidak perlu berkhayal menuju sebuah dunia yang dipenuhi robot atau humaniod.
Penciptaan kecerdasan buatan yang menyamai atau bahkan melampaui dimensi-dimensi kecerdasan manusia adalah inti dari semuanya.
Bentuk fisiknya sangat fungsional dan dapat bermacam-macam, mulai dari sebuah kotak mainframe yang sama sekali tidak menarik, hingga sebuah robot sex Jepang yang sungguh menggiurkan, dan paham semua keinginan kita!
Namun, tetap saja, intinya adalah kecerdasan itu sendiri.