Parapuan.co – Kawan Puan, apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar istilah kecerdasan buatan?
Seperti diketahui, kecerdasan merupakan sebuah anugerah utama, yang bukan saja membantu manusia purba untuk bertahan hidup di muka bumi.
Selain itu, kecerdasan juga menjadi sebuah perangkat yang mampu mendefinisikan kemanusiaan itu sendiri.
Kecerdasan (pikiran, otak – sebagai alatnya) telah membawa manusia mengarungi ribuan tahun hingga saat ini, dan kini manusia pun telah mampu menciptakan sebuah kecerdasan di luar dirinya.
Nah, kecerdasan hasil ciptaan manusia tersebut biasa kita sebut sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Ada tiga tahapan kecerdasan dalam perkembangan manusia itu sendiri, yang diberi istilah Life 1.0 hingga 3.0.
Baca Juga: Didominasi Laki-laki, Angka Perempuan di Ranah CleanTech Masih Rendah
Life 1.0 adalah bentuk awal kecerdasan yang sangat sederhana dan biologis sifatnya.
Kecerdasan ini belum dapat menciptakan perangkat lunak dan perangkat kerasnya sendiri, semua masih sangat tergantung pada DNA dan perubahan secara evolusioner.
Life 2.0 adalah perkembangan lebih lanjut kecerdasan yang bersifat kultural. Pada tahap ini manusia telah mampu menciptakan perangkat lunaknya sendiri (sistem kognisi, bahasa, profesi, seni, pengetahuan), tetapi belum bisa menciptakan perangkat kerasnya.
Karena kemampuan menciptakan dan mengelola perangkat lunak itulah, manusia pada tahap ini mampu bertahan hidup, dan membentuk tatanan sosial.
Life 3.0 merupakan tahapan kita saat ini, ditandai dengan lahirnya spesies baru bernama teknologi.
Manusia telah mampu menciptakan perangkat kerasnya, bahkan secara sederhana membuat entitas kecerdasan baru di luar dirinya. Inilah awal dari era kecerdasan buatan.
Kita tidak perlu repot membayangkan kecerdasan buatan seperti dalam film A.I. (Steven Spielberg).
Dalam bentuk paling sederhana, kita telah hidup bersama-sama (dan saat ini cenderung harmonis) dengan kecerdasan buatan.
Beberapa contohnya adalah video game yang dapat membuat variasi skenario, lampu lalu lintas yang “membaca” dan menyesuaikan dengan kondisi kepadatan jalan.
Selain itu, ada juga microwave cerdas yang dapat mendeteksi tingkat kematangan, hingga teknologi mesin pencari (search engine) yang dapat membaca semua preferensi kita, untuk nantinya membuat kustomasi dalam perilaku pencarian kita di belantara web.
Namun, cepat atau lambat, semua yang digambarkan dalam film karya sutradara ternama tadi pasti akan terjadi.
Baca Juga: Sukses di Dunia STEM, Inilah Sosok Fransiska Hadiwidjana Co Founder Women Works
Saat ini, para insinyur, programmer dan ahli dari disiplin ilmu terkait berlomba untuk “mencerdaskan” kecerdasan buatan itu sendiri.
Dari yang awalnya memerlukan manusia sebagai pengendalinya, menuju ke otonomi, sebuah kecerdasan yang mandiri, mampu melakukan analisis tanpa diminta, dengan hanya berdasarkan dinamika perubahan lingkungannya, membuat keputusan, mengoreksinya jika salah, dan bahkan memperbaiki sendiri sistemnya jika mengalami kerusakan.
Kita sudah sedekat itu menuju sebuah penciptaan “entitas hidup” yang baru di dunia ini.
Tidak perlu berkhayal menuju sebuah dunia yang dipenuhi robot atau humaniod.
Penciptaan kecerdasan buatan yang menyamai atau bahkan melampaui dimensi-dimensi kecerdasan manusia adalah inti dari semuanya.
Bentuk fisiknya sangat fungsional dan dapat bermacam-macam, mulai dari sebuah kotak mainframe yang sama sekali tidak menarik, hingga sebuah robot sex Jepang yang sungguh menggiurkan, dan paham semua keinginan kita!
Namun, tetap saja, intinya adalah kecerdasan itu sendiri.
Tinggallah sebuah pertanyaan yang tersisa bagi kita yang hidup saat ini, yang mungkin menjadi sebuah pertanyaan terpenting dalam abad ini: seperti apakah masa depan yang kita inginkan nanti?
Bahwa hakikat masa depan umat manusia sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari kehadiran AI, itu adalah sebuah keniscayaan.
Masalahnya, AI yang seperti apa? Apa yang mampu memberikan manfaat bagi kita, sehingga mendorong berkembangnya kemanusiaan itu ke level yang lebih tinggi lagi? Atau malah AI yang menjadi terlampau cerdas sehingga membahayakan kemanusiaan itu sendiri?
Seberapa jauh definisi “terlampau cerdas” itu yang kita sepakati? Apa saja batasan-batasan dalam pengembangan AI yang harus kita waspadai? Apa alasan etis normatif yang membuat kita mampu menahan diri dari “bermain peran sebagai Tuhan”?
Ketika dahulu manusia sukses melakukan cloning pada hewan (domba bernama Dolly, tahun 1997), maka boleh dibilang dalam dimensi tertentu manusia telah menjadi nyaris sejajar dengan Sang Pencipta dalam tataran biologis.
Lalu kini, melalui AI atau kecerdasan buatan, manusia pun mensejajarkan diri dengan Sang Pencipta dalam hal kognitif, yang menjadi inti sari dari semua kehidupan.
Jadi, mampukah kita tetap “menjadi manusia” dalam era AI di masa depan?
Jawabannya bisa Kawan Puan dapatkan di Buku Life 3.0 – Menjadi Manusia pada Era Kecerdasan Buatan karya Max Tegmark yang diterbitkan Elex Media Komputindo.
Max Tegmark ini merupakan seorang profesor di MIT yang bekerjasama dengan Elon Musk dan banyak melahirkan ide-ide di bidang kosmologi dan kecerdasan buatan.
Kawan Puan bisa membaca blurb dari buku Gramedia ini melalui tautan berikut!
Ditulis oleh: Eko Nugroho, editor Social Sciences Elex Media