Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya.
"Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi dan umat manusia,” tutur Asikin Hasan.
Setelah melalui perjalanan panjang sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka.
Baca Juga: Nadiem Makarim Terbitkan Aturan untuk Berantas Kekerasan Seksual di Kampus
Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.
Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, ia menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran.
Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.
Dalam salah satu karyanya juga, ia akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
Pada karya-karyanya, Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang,ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia.