Keren! Komunitas Salihara Adakan Pameran Seni Rupa soal Masalah Lingkungan

Firdhayanti - Minggu, 31 Oktober 2021
Ilustrasi pameran seni rupa
Ilustrasi pameran seni rupa Chalffy/Getty Images

Parapuan.co - Komunitas Salihara Arts Center kembali menggelar pameran seni rupa Three for Plastic Hearts  yang berlangsung pada 29 Oktober sampai 30 November 2021. 

Digelar secara hybrid di Galeri Salihara, pameran ini akan menampilkan karya-karya tiga perupa pemenang Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019 yaitu Andrita Yuniza, Argya Dhyaksa, dan Wildan Indra Sugara.

Perlu diketahui bahwa kompetisi Karya Trimatra Salihara sendiri digelar setiap tiga tahun sekali.

Melalui pameran ini, Komunitas Salihara ingin memotret karya-karya, gagasan dan arsip mereka dalam rentang sekitar tiga tahun terakhir. 

Di acara pembukaan pameran (29/10), Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut ketiga perupa yang karyanya ditampilkan di pameran ini merupakan darah muda dunia seni rupa Indonesia.

"Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” ungkap Asikin Hasan sebagaimana terdapat dalam keterangan pers, Minggu (31/10/2021). 

Baca Juga: Galeri Salihara Gelar Pameran Seni dengan Pengalaman Multiindrawi

Teknologi yang merasuk dalam keseharian adalah faktor utama yang membentuk cara pandang dan gagasan pada karya-karya seni rupa mereka, di mana teknologi hadir sebagai idiom dan medium sekaligus.

Pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan karya-karya semacam ini terkadang tidak lagi pada tataran rupa semata, melainkan bagaimana efek estetis dapat timbul dari kemajuan teknologi dan peradaban masa kini?

Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka.

Kehangatan emosi yang biasanya membawa kita terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak kita anggap sebagai bagian dari seni itu sendiri.

Obyek-obyek bahkan hadir dengan suasana dingin, sebagai implikasi dari gagasan dan konsep para perupa.

Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya.

"Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi dan umat manusia,” tutur Asikin Hasan.

Setelah melalui perjalanan panjang sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka.

Baca Juga: Nadiem Makarim Terbitkan Aturan untuk Berantas Kekerasan Seksual di Kampus

Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.

Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, ia menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran.

Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.

Dalam salah satu karyanya juga, ia akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya.

Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.

Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.

Pada karya-karyanya, Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang,ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia.

Berbeda dengan Andrita, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya.

Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri.

Wildan mengekstrimkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kekonkritan.

Dalam karyanya yang baru, ia  menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah.

Baca Juga: Beli BTS Hangeul Message Chocolate Bisa Lewat Bus, Ada di 6 Kota!

Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya, seperti kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.

Sementara itu, Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna.

Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang senantiasa berdebar-debar, apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil atau cacat dan rusak selama proses pembakaran.

Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.

Jika Kawan Puan ingin mengunjungi pameran Three Plastic For Hearts, silahkan buka tautan ini. (*)

 

Sumber: Rilis
Penulis:
Editor: Arintya


REKOMENDASI HARI INI

Retno Marsudi Jadi Direktur Perusahaan Energi di Singapura, Apa Tugasnya?