Psikiater dan direktur medis regional untuk Community Psychiatry + MindPath Care Centers, Leela R. Magavi, MD, mengatakan, "Kami membutuhkan lebih banyak data untuk memahami bagaimana berbagai bentuk trauma dapat memengaruhi otak individu."
Ia juga menjelaskan bahwa meskipun perempuan dengan penyakit kardiovaskular, stroke, atau demensia dikeluarkan dari penelitian ini, penting untuk mengakui bahwa faktor-faktor lain juga bisa memengaruhi.
Faktor-faktor lain seperti tumor otak, kekurangan vitamin, infeksi, migrain, penyakit autoimun, dan penyakit demielinasi dapat menjadi penyebab.
Leela menyoroti bagaimana individu yang mengalami trauma cenderung mengalami kesulitan dengan kecepatan pemrosesan, memori kerja, dan produktivitas.
"Penelitian lebih lanjut dapat membantu dokter mendiagnosis dan mengobati perubahan kognitif jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik yang diamati pada individu dengan gangguan stres pascatrauma," ungkapnya.
Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan Berbentuk Stalking, Begini Cara Menghadapinya
Leela menjelaskan bahwa usia seseorang pada saat terjadi trauma sangat penting.
Selanjutnya, dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk membedakan perubahan neurologis berdasarkan apakah seseorang mengalami trauma selama masa kanak-kanak atau dewasa.
Penting juga untuk memastikan bagaimana pengalaman traumatis yang berbeda seperti pengabaian, pelecehan emosional, pelecehan fisik, dan pelecehan seksual secara independen dapat memengaruhi otak.
Trauma dapat memengaruhi individu dengan cara yang tak terhitung jumlahnya akibat perubahan neurologis.
Pasalnya, Leela menyoroti bagaimana hal itu dapat memicu atau memperburuk masalah harga diri, kecemasan, dan depresi.
Paparan kronis akibat trauma kekerasan pada perempuan dapat menyebabkan penggunaan narkoba, depresi, dan gangguan kecemasan termasuk gangguan stres pascatrauma.
(*)