Parapuan.co - Kekerasan pada perempuan yang terjadi dapat menyebabkan efek negatif bagi penyintas.
Baik berupa kekerasan yang terjadi secara fisik, emosional, dan verbal.
Efek negatif yang dialami penyintas dapat berupa efek secara fisik maupun psikis.
Namun rupanya, pada satu kondisi tertentu penyintas sulit keluar atau lepas dari pelaku maupun kondisi kekerasan yang dialaminya.
Baca Juga: Efek Kekerasan pada Perempuan Bagi Kesehatan Mental Penyintas
Kondisi ini disebut dengan trauma bonding yang merupakan efek dari kekerasan pada perempuan.
Apa itu trauma bonding?
Melansir Verywellmind, trauma bonding merupakan keterikatan yang dirasakan penyintas kekerasan, khususnya dalam hubungan dengan pola siklus pelecehan.
Ikatan tercipta karena siklus kekerasan dan penguatan positif.
Pelaku kerap menyatakan cinta, penyesalan, dan sebaliknya mencoba membuat hubungan terasa aman dan dibutuhkan oleh orang yang dilecehkan setelah situasi pelecehan.
Trauma bonding menjadi salah satu alasan mengapa meninggalkan situasi yang penuh kekerasan terasa membingungkan dan berlebihan.
Ini melibatkan perasaan positif dan cinta untuk pelaku kejahatan terhadap perempuan.
Trauma bonding membuat orang yang dilecehkan merasa terikat dan bergantung pada pelaku.
Kekerasan pada perempuan yang menyebabkan trauma bonding dikaitkan dengan rekasi traumatis.
Masih melansir Verywellmind, istilah trauma bonding dicipakan oleh Patrick Carnes, PhD, CAS pada tahun 1997.
Patrick mendefinisikan trauma bonding sebagai "keterikatan disfungsional yang terjadi di hadapan bahaya, rasa malu, atau eksploitasi".
Ia juga menganggapnya sebagai salah satu dari sembilan kemungkinan reaksi terhadap situasi traumatis.
Selanjutnya, ia menduga bahwa trauma bonding terjadi karena cara otak kita menangani trauma, yang didasarkan pada cara kita harus beradaptasi ketika kita perlu bertahan hidup.
Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan, Begini Tanda-tanda Kekerasan Finansial
Dia menemukan dua aspek yang paling penting dari trauma, bagaimana orang menanggapi keparahannya dan berapa lama itu berlanjut.
Konsep ini terus bertahan hingga hari ini.
Dengan terapi saat ini sering berfokus pada bagaimana korban dapat memutuskan trauma bonding.
Sehingga, mereka tidak merasa malu atau bersalah atas bagaimana mereka bereaksi terhadap situasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Terutama bagi mereka yang mengalami kejahatan terhadap perempuan.
Situasi trauma bonding
Masih melansir Verywellmind, trauma bonding dapat terjadi dalam situasi pelecehan apa pun, tidak peduli berapa lama atau pendeknya waktu itu berlangsung.
Kemungkinan besar terjadi dalam situasi di mana pelaku membuat titik mengungkapkan cinta kepada orang yang mereka aniaya.
Kemudian, mereka bertindak seolah-olah pelecehan tidak akan terjadi lagi.
Kombinasi pelecehan dan penguatan positif itulah yang menciptakan trauma bonding atau perasaan yang dilecehkan bahwa pelaku tidak semuanya buruk.
Ada beragam jenis situasi kasar di mana trauma bonding dapat terjadi, dan keterikatan emosional sering terjadi dalam situasi kasar.
Mereka tidak perlu malu, karena hasil dari otak kita mencari metode bertahan hidup.
Ini disebut sebagai keterikatan paradoks, fenomena ini dapat terjadi karena berbagai situasi.
Baca Juga: Penyintas Kekerasan pada Perempuan Dapat Mengalami PTSD, Apa itu?
Berikut di antaranya yang paling umum:
- Kekerasan dalam rumah tangga
- Inses
- Penculikan
- Pelecehan seksual
- Sekte
- Pelecehan orang tua
- Perdagangan manusia
Mungkin sulit untuk memahami bagaimana seseorang dalam situasi yang mengerikan seperti salah satu di atas dapat memiliki perasaan cinta, ketergantungan, atau kepedulian terhadap orang atau orang-orang yang menyiksanya.
Trauma bonding terbentuk dari kebutuhan dasar manusia akan keterikatan sebagai sarana untuk bertahan hidup.
Dari sana, seorang korban pelecehan dapat menjadi tergantung pada pelakunya.
Tambahkan dalam siklus di mana pelaku berjanji untuk tidak mengulangi pelecehan dan mendapatkan kepercayaan korban berulang kali.
Trauma bonding akibat kekerasan pada perempuan dapat mengakibatkan korban memiliki self-esteem rendah, kecemasan, hingga depresi.
(*)