Parapuan.co - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan tuntutan penjara untuk kasus istri yang menegur suami mabuk.
Komnas Perempuan mengatakan bahwa ancaman penjara 1 tahun untuk sang istri yang dituduh melakukan kekerasan psikis terhadap mantan suaminya itu tidak sesuai.
Dakwaan ancaman penjara 1 tahun itu merupakan cermin ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum, khusus kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berharap kondisi dakwaan ini dapat dikoreksi.
Komnas Perempuan mendorong Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Karawang untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam pemeriksaan kasus itu.
Baca Juga: Fakta Kasus Istri Dituntut 1 Tahun Penjara karena Marahi Suami yang Mabuk
Istri adalah korban KDRT
Pada bulan Juli 2021, Komnas Perempuan mendapat laporan dari saudari V (istri) bahwa ia adalah korban KDRT berulang dan berlapis.
Suami V yang bernama CYC itu ternyata telah berbohong tentang status perkawinannya.
Hal itu diketahui oleh V setelah menikah pada tahun 2011 dan mengikuti suaminya ke Taiwan.
V pun berperan sebagai pihak pencari nafkah utama dalam keluarga sementara CYC kerap pulang dalam kondisi mabuk.
Tak cukup sampai di situ, V pun menghadapi kekerasan ekonomi akibat utang CYC, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya.
Kondisi itulah yang kemudian membuat V memilih pulang ke Indonesia, mengembangkan usahanya, dan menjadi sponsor bagi CYC untuk mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia.
Suami meminta pembagian harta pasca bercerai
Setelah berada di Indonesia, ternyata CYC tetap menjadi suami yang kerap mabuk dan berutang.
Oleh karena itu, V menggugat cerai, dengan hak asuh anak jatuh kepada ibu.
Sementara itu pihak CYC harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya.
Namun begitu, CYC mengajukan banding dan meminta pembagian harta secara rata.
CYC juga melaporkan V atas tindak pidana KDRT psikis karena V telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak.
CYC beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan.
V pun melaporkan CYC atas tindak pidana KDRT dan penelantaran anak.
Sementara kasus KDRT yang dilaporkan oleh V tertunda prosesnya, kasus yang memposisikannya sebagai terlapor oleh mantan suaminya justru berlanjut.
Baca Juga: Viral di Twitter, Perempuan Diduga Ditipu Calon Pengantin Laki-Laki dan WO
Rekomendasi Komnas Perempuan
Atas kasus yang terjadi ini, Komnas Perempuan mengajukan beberapa hal:
1. Komnas Perempuan berpendapat bahwa korban V tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT.
2. Komnas Perempuan menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap V.
Namun dua rekomendasi tersebut tidak ada tanggapan dan justru kasus disidangkan di Pengadilan Negeri Karawang.
Di samping itu, Komnas Perempuan telah menerima sejumlah pengaduan di mana perempuan korban kekerasan dikriminalkan dan harus berhadapan dengan hukum.
Kriminalisasi itu dilakukan akibat upaya perempuan menggugat cerai demi memutus KDRT, mendapat hak sebagai istri/mantan istri, atau mendapatkan hak atas anaknya.
Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2021, 36% dari 120 lembaga layanan menyampaikan bahwa terjadi kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.
Dalam banyak kasus, laporan yang mengkriminalkan perempuan korban KDRT justru lebih cepat diproses daripada laporan KDRT dari pihak perempuan, dan kedua laporan tersebut kerap diperlakukan sebagai kasus yang terpisah.
Kriminalisasi ini dimungkinkan karena pemahaman aparat penegak hukum yang belum utuh mengenai persoalan ketimpangan relasi berbasis gender dalam perkawinan antara suami dan istri.
Baca Juga: Fakta dan Kronologi Keluarga Nirina Zubir Jadi Korban Mafia Tanah
(*)