Parapuan.co - Kesetaraan gender bukanlah hal baru yang diserukan di dunia ini.
Meskipun begitu, hingga kini masih banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan seksual.
Terlebih lagi, pandemi justru memengaruhi kasus kekerasan pada perempuan dan anak-anak.
Pada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) tahun 2021, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, LBH APIK Sulawesi Selatan, SANTAI, Project Multatuli, KBR, dan Oxfam di Indonesia mengadakan diskusi publik dan media gathering.
Acara yang digelar secara luring dan daring ini mengangkat tema 30 Tahun Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: di Balik Ganjalan Tantangan yang digelar tepat pada Hari Tanpa Kekerasan Perempuan pada hari ini, Kamis (25/11/2021).
Baca Juga: Peduli Korban Kekerasan Berbasis Gender, Cinta Laura Lakukan Donasi Ini
Dalam acara tersebut, dibahas banyak hal termasuk juga kebutuhan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Pasalnya, pada saat ini pula, 30 tahun sudah perjalanan advokasi penghapusan kekerasan berbasis gender.
Namun tantangan selama masa pandemi malah meningkatkan kekerasan berbasis gender dan memperkuat ketimpangan dalam kesetaraan gender.
Pemerintah perlu melindungi perempuan dan anak perempuan agar aman dari ancaman berbagai jenis kekerasan yang rentan dialaminya.
Kekerasan Berbasis Gender Meningkat Selama Pandemi
Masa pandemi malah meningkatkan kekerasan berbasis gender dan memperkuat ketimpangan dalam kesetaraan gender.
Dalam siaran pers yang diterima PARAPUAN, data laporan The Ignored Pandemic: The Dual Crisis of Gender-Based Violence and COVID-19 yang dipublikasikan oleh Oxfam Internasional menunjukkan adanya lonjakan sebesar 22 hingga 111 persen.
Data ini merupakan jumlah laporan yang dilakukan oleh para penyintas ke layanan bantuan terkait kekerasan berbasis gender di sepuluh negara selama masa lockdown atau kuncitara.
Baca Juga: Mengenal Kalis Mardiasih, Penulis yang Peduli Hak Perempuan dan Anak
Adapun sepuluh negara tersebut adalah Argentina, Cina, Kolombia, Siprus, Italia, Malaysia, Somalia, Afrika Selatan, Inggris, dan Tunisia.
Realitas serupa terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan melaporkan adanya peningkatan aduan kekerasan terhadap perempuan sebesar 40% di tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019, dimana 65% dari jumlah kasus tersebut berkaitan dengan kejahatan online/siber.
Alih-alih membantu mendukung kemajuan manusia, teknologi justru menjadi media berkembangnya kekerasan berbasis online.
Pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas orang kini juga meningkatkan intensitas interaksi di dunia maya.
Hal ini menyebabkan tendensi meningkatnya angka kekerasan gender berbasis online tidak dapat dihindari.
Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2021, angka kasus kekerasan gender berbasis online yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan meningkat tajam yaitu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Menurut Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli, kekerasan berbasis gender online ini masih belum dilihat sebagai sesuatu yang genting.
Padahal, kasus kekerasan berbasis gender online masih menjadi fenomena puncak gunung es.
“Bahaya yang ada di dalamnya masih belum terkuak dan jika dibuka, sebetulnya isunya lebih rumit dari sekadar kekerasan berbasis online," kata Evi.
RUU TPKS Harus Disahkan
Peningkatan kasus tersebut seharusnya dapat menjadi pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Sebelumnya, RUU TPKS telah tertunda lebih dari dua tahun.
Penghapussan RUU TPKS dari Prolegnas Prioritas merupakan kemunduran yang memprihatinkan.
Baca Juga: Ekspresi Diri Dibatasi, Fangirl K-Pop di Indonesia Alami Kekerasan Berbasis Gender Online
Hal ini berbanding terbalik dengan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan setidaknya setahun terakhir.
Menurut Mike Verawati, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, RUU TPKS harus dilihat dari semangat yang menunjukkan bahwa negara turun tangan dalam mengupayakan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Pasalnya, hingga saat ini kebijakan yang ada saat ini belum kuat untuk melindungi korban.
"Sangat disayangkan ada pihak-pihak yang melakukan penolakan dengan argumentasi yang justru melemahkan performa negara dalam menyelamatkan korban dan menjamin semua warga bangsa aman dari tindak pidana kekerasan seksual," tutur Mike.
Di lain sisi, Rezki dan Ilham selaku perwakilan kelompok remaja SANTAI dan LBH Apik juga turut serta menyuarakan pentingnya meningkatkan kesadaran akan bahaya kekerasan berbasis gender di kalangan remaja dan anak.
Remaja terutama remaja laki-laki memiliki peran penting dalam menghapus kekerasan berbasis gender.
“Penghapusan kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual tidak hanya dapat menyelamatkan perempuan, tapi juga menyelamatkan laki-laki dari stigma perilaku sempit terkait peran laki-laki yang mengekang selama ini,” ujar Ilham.
(*)